Yogyakarta - Akademisi Jurusan Teknik Fisika Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mendukung pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia sebagai upaya memenuhi kebutuhan energi di masa datang, namun perlu persiapan yang matang.
"Pembangunan PLTN di Indonesia diharapkan bisa diarahkan untuk mengatasi kebutuhan energi di Indonesia yang cukup kritis," kata Sihana, Ketua Jurusan Teknik Fisika Fakultas Teknik UGM di Yogyakarta, Selasa.
Ia mengatakan, pertimbangan untuk membangun PLTN tersebut berangkat dari prediksi kebutuhan listrik di masa datang yang tidak sepenuhnya bisa dipenuhi dari sumber daya lain. Namun, pendirian PLTN itu memerlukan beberapa persyaratan yang matang.
"Belajar dari pengalaman reaktor nuklir di Jepang, Indonesia harus memikirkan berbagai antisipasi desain sistem keselamatan yang belum terpikirkan di negara lain," katanya.
Ia mengatakan, Jepang memang telah memprediksi skala gempa tetapi tidak memikirkan mengenai antisipasi tsunami.
"Oleh karena itu, perlu dipikirkan hal-hal semacam itu, baik terkait tata ruang, sistem pendingin maupun beberapa persiapan teknis yang harus lebih baik," katanya.
Peneliti nuklir dari UGM Andang Widiharto mengatakan, kapasitas listrik yang tersedia di Indonesia saat ini sebesar 30.000 megawatt. Jumlah tersebut baru bisa memenuhi kebutuhan 60 persen wilayah di Indonesia.
"Ke depan kebutuhan listrik diprediksi akan makin tinggi seiring dengan perkembangan industri. Pada 2025 dibutuhkan sekitar 100.000 megawatt listrik, sehingga kekurangan pasokan sebesar 70.000 megawatt," katanya.
Menurut dia, pemenuhan itu kemungkinan hanya bisa didapat dari energi nuklir, karena jika hanya mengandalkan geothermal, makrohidropower, dan tenanga surya pasokannya tetap kurang.
"Dari energi geotermal, pasokan listrik yang dihasilkan sekitar 27.000 megawatt. Potensi sebesar itu tidak mungkin bisa dikembangkan seluruhnya atau hanya dapat terealisasi sekitar 9.000 megawatt," katanya.
Ia mengatakan, makrohidropower, potensi yang dimiliki adalah 75.000 megawatt dan realisasinya hanya 10.000 megawatt.
"Total dari gabungan kedua energi itu hanya menghasilkan 19.000 megawatt atau masih ada kekurangan pasokan sekitar 50.000 megawatt," katanya.
Menurut dia, jika menggunakan energi surya, pada kapasitas satu gigawatt saja perlu luas area 20 kilometer persegi. Satu panel surya berukuran satu meter persegi hanya menghasilkan 50 watt listrik.
Namun, jika menggunakan PLTN, satu unitnya yang menghasilkan 1.000 megawatt listrik hanya memerlukan dua kilometer persegi area.
"Pasokan nuklir di tingkat dunia saat ini melebihi stok dan terdapat bank uranium. Hal itu merupakan kesempatan yang baik untuk dikembangkan jika didukung dengan persyaratan yang matang," katanya. [R/Ant]
"Pembangunan PLTN di Indonesia diharapkan bisa diarahkan untuk mengatasi kebutuhan energi di Indonesia yang cukup kritis," kata Sihana, Ketua Jurusan Teknik Fisika Fakultas Teknik UGM di Yogyakarta, Selasa.
Ia mengatakan, pertimbangan untuk membangun PLTN tersebut berangkat dari prediksi kebutuhan listrik di masa datang yang tidak sepenuhnya bisa dipenuhi dari sumber daya lain. Namun, pendirian PLTN itu memerlukan beberapa persyaratan yang matang.
"Belajar dari pengalaman reaktor nuklir di Jepang, Indonesia harus memikirkan berbagai antisipasi desain sistem keselamatan yang belum terpikirkan di negara lain," katanya.
Ia mengatakan, Jepang memang telah memprediksi skala gempa tetapi tidak memikirkan mengenai antisipasi tsunami.
"Oleh karena itu, perlu dipikirkan hal-hal semacam itu, baik terkait tata ruang, sistem pendingin maupun beberapa persiapan teknis yang harus lebih baik," katanya.
Peneliti nuklir dari UGM Andang Widiharto mengatakan, kapasitas listrik yang tersedia di Indonesia saat ini sebesar 30.000 megawatt. Jumlah tersebut baru bisa memenuhi kebutuhan 60 persen wilayah di Indonesia.
"Ke depan kebutuhan listrik diprediksi akan makin tinggi seiring dengan perkembangan industri. Pada 2025 dibutuhkan sekitar 100.000 megawatt listrik, sehingga kekurangan pasokan sebesar 70.000 megawatt," katanya.
Menurut dia, pemenuhan itu kemungkinan hanya bisa didapat dari energi nuklir, karena jika hanya mengandalkan geothermal, makrohidropower, dan tenanga surya pasokannya tetap kurang.
"Dari energi geotermal, pasokan listrik yang dihasilkan sekitar 27.000 megawatt. Potensi sebesar itu tidak mungkin bisa dikembangkan seluruhnya atau hanya dapat terealisasi sekitar 9.000 megawatt," katanya.
Ia mengatakan, makrohidropower, potensi yang dimiliki adalah 75.000 megawatt dan realisasinya hanya 10.000 megawatt.
"Total dari gabungan kedua energi itu hanya menghasilkan 19.000 megawatt atau masih ada kekurangan pasokan sekitar 50.000 megawatt," katanya.
Menurut dia, jika menggunakan energi surya, pada kapasitas satu gigawatt saja perlu luas area 20 kilometer persegi. Satu panel surya berukuran satu meter persegi hanya menghasilkan 50 watt listrik.
Namun, jika menggunakan PLTN, satu unitnya yang menghasilkan 1.000 megawatt listrik hanya memerlukan dua kilometer persegi area.
"Pasokan nuklir di tingkat dunia saat ini melebihi stok dan terdapat bank uranium. Hal itu merupakan kesempatan yang baik untuk dikembangkan jika didukung dengan persyaratan yang matang," katanya. [R/Ant]