Menjadi aktor teater tak mesti pentas di panggung-panggung budaya. Eksistensi sebagai pekerja seni di pentaskan di panggung kehidupan. Itulah yang dilakukan Sigit Budi Martono, seorang aktor teater lulusan Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar Bali. Setelah merantau puluhan tahun di Aceh ia kembali ke Wonosobo.
Berbekal nekat dan memiliki daya inovatif dan ketrampilan merangkai berbagai bangunan dari bambu Mas Tono begitu sapaan akrabnya mendirikan warung Entok. Spekulasi ini ia ambil setelah menikah dengan Nur Hamidah. Ia memiliki empat anak perempuan sembari bekerja menjadi perajin bambu tapi tidak bisa diandalkan untuk menghidupi ekonomi keluarganya.
“Awalnya hanya punya niat saja. Modal 25 ribu untuk beli Entok di pasar Kertek,” akunya saat ditemui di warungnya yang baru didirikan dua bulan di jembatan lingkar Ngasinan.
Mantan pegiat sanggar Pusat Olah Seni Teater Indonesia (Posti) Bali ini mendirikan warungnya dari bambu sisa-sisa proyek bangunan. Bahkan sekedar untuk meja dan kursi baru yang ada cuma satu.Namun setelah berlalu beberapa minggu modal berkembang, tungku dapur serta perlengkapan warungnya pun tersedia.
Kini warungnya buka dari pukul 08.00 hingga 22.00.Pembelinya tak hanya dari Wonosobo saja namun juga dari pelancong yang melintasi jalan lingkar yang di tengahnya terdapat sungai Tembelang tersebut. Menurutnya rata-rata sehari ada sebanyak 60 hingga 70 pembeli dengan harga seporsi makan nasi Entok model prasmanan hanya Rp 6000.
“Uang berputar sekitar Rp 500 ribu,” jelas pria berambut gondrong yang nekat mendirikan warung karena sejak dulu kawasan tersebut dipandang angker oleh warga Wonosobo.
Dibantu sang istri yang setia selalu menemani berjualannya tiap pagi dirinya belanja bahan baku ke pasar Kertek. Menjelang siang mereka meracik bumbunya secara bergantian. Menu andalan pelengkap nasi Entok diwarungnya yakni sambal koplo. Rasanya cukup lezat apalagi makannya ditambah lalap daun singkong dan kuah masakan ikan Entok.
“Daging Entok itu kalau bulan Suro di beberapa desa masih di masak. Walau begitu makan daging Entok seakan sudah membudaya di Kabupaten ini,” jelasnya.
Keunggulan lain diwarungnya, lanjut dia, memasaknya tidak menggunakan kompor gas melainkan kayu bakar. Hasilnya rasa masakan makin lebih enak karena tidak ada unsur gasnya.
Seorang pembeli diwarungnya Suroto mengaku sangat tergoda dengan kualitas rasa diwarungnya. Menurutnya selain tempatnya adem karena terbuka langsung di bawah pepohonan sambel koplo dan lalapannya sangat pas untuk sarapan pagi.
“Rasanya cukup enak. Saya kan orang yang jarang makan di rumah. Karena itu begitu hafal dengan kualitas rasa di warung-warung sekitar Wonosobo,” ucap pengurus jasa STNK tersebut setelah makan diwarungnya Mas Tom.
Meski cukup laris dan pelanggannya kini banyak seniman Wonosobo ini mengaku sangat butuh menambah modal usahanya agar lebih maju. Menurutnya cita-cita mendirikan warung Entok yang laris menjadi semangat ia sehari-hari untuk mengembangkan usahanya.
“Jika ada suntikan modal sedikit saja maka warung akan lebih lengkap fasilitasnya,” pungkasnya. [R/Yudi]