Pusat Penelitian Geografi Terapan Universitas Indonesia (PPGT UI) bekerjasama dengan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) mengadakan forum diskusi panel dengan topik Strategi Kebudayaan untuk Kepemimpinan Masa Depan Bangsa Indonesia. Acara yang dihelat di Pusat Studi Jepang UI pada Kamis (24/03) yang dihadiri 300 an undangan yaitu mahasiswa UI dan perguruan tinggi lainnya serta masyarakat umum dan kalangan LSM yang tertarik dengan kebudayaan.
Acara ini menghadirkan tokoh-tokoh kompeten sebagai narasumber seperti Prof. Dr. Muladi SH (mantan Gubernur LEMHANAS); Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro Jakti (Mantan Menko Perekonomian), Prof. Dr. Paulus Wirutomo (Sosiolog UI) dan Mohammad Sobari, M.A (Budayawan). H Pontjo Sutowo (Ketua dewan Pembina YSNB) dalam sambutannya menjelaskan, karena pengaruh budaya yang begitu besar, maka budayalah yang harus digunakan pemimpin untuk menyelesaikan masalah. Indonesia selama ini, lanjut Pontjo, dalam menghadapi suatu masalah kurang menggunakan kekuatan budayanya. Budaya itu sangat luar biasa dan bukan sebatas dengan kesenian. "Kita terpukau dengan supremasi hukum karena supremasi hukum itu semestinya terjemahan daripada nilai budaya yang kita sepakati bersama," ungkap Pontjo. Sebagai contoh, lanjutnya, betapapun semiskin-miskinnya kita, sebagai seorang anak tetap akan mengurus orang tua. Sementara di Amerika Serikat, anak menitipkan orang tuanya di panti jompo dan lebih memilih untuk memelihara anjing. "Inilah luar biasanya budaya kita, dan semestinya bisa digunakan untuk menjawab persoalan bangsa. Karena nilai-nilai budaya yang kuat adalah panglima dari pembangunan, sementara ekonomi dan politik itu sub di dalamnya," ucapnya.
Sementara, Imam Sunario, ketua Umum YSNB, menyatakanaspek budaya adalah masalah besar yang kurang diperhatikan elit bangsa Indonesia saat ini. Dengan menggali budaya masyarakat di nusantara yang unggul ini diharapkan dapat ditumbuhkembangkan budaya bangsa Indonesia yang berkarakter. "Bagaimana sikap sebuah bangsa menghadapi masalah dan bagaimana mereka memilih cara penyelesaiannya, yaitu penyelesaian yang sesuai dengan karakter bangsanya sendiri," kata Iman. Dalam presentasinya yang berjudul “Urgensi Keberadaan Indeks Kepemimpinan Indonesia (IKNI)”, Muladi mengungkapkan berbagai hakekat IKNI, “IKNI merupakan suatu metode untuk menemukan informasi secara cepat, mudah dan kategoris tentang standardisasi kualitas kepemimpinan yang bersifat objektif dan relevan dalam konteks universal dan atau keindonesiaan yang diharapkan mampu memecahkan pelbagai permasalahan yang dihadapi.”
Panelis kedua, Panulus Wirutomo memaparkan kesiapan masyarakat bangsa menyongsong masa depan. Mengapa banyak bangsa ‘dunia ketiga’ berubah menjadi bangsa ‘dunia pertama’ (korea, Singapore, Taiwan, dsb) sementara lainnya tetap tertinggal? Menurutnya, di saat teori kolonialisme, rasisme dan geografis tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan , teori kebudayaan yang dulu pernah pudar kini muncul kembali ke permukaan dan menjawabnya melalui pembangunan berbasis nilai. “pembangunan berbasis nilai adalah suatu pembangunan seluruh aspek kehidupan bangsa (ekonomi, politik fisik, sosial, dan budaya) yang dilandasi oleh nilai tertentu,” ungkap Paulus. “Keberhasilan pembangunan ini bukan hanya dilihat dari pencapaian kuantitatif setiap bidang atau sektor pembangunan, tetapi terutama tertanamnya nilai-nilai strategis yang telah ditargetkan”, lanjutnya. Senada dengan Paulus, Dorodjatun memberikan presentasi membangun masa depan Bangsa Indonesia dengan cita-cita kemerdekaan. Menurutnya, seorang pemimpin merupakan hasil dari kebudayaan yang ia jalani sejak kecil terutama dari sistem pendidikannya. Ada tiga tipe pemimpin ideal menurut Max Weber, yaitu pemimpin tradisional yang mengandalkan adat istiadat untuk dapat meyakinkan masyarakat melalui tokoh panutan, pemimpin karismatik yang mampu menggerakkan masyarakat dari berbagai budaya dan bersifat insidental, dan tipe pemimpin legal yang mengandalkan kehadiran seperangkat lembaga hukum untuk menopang kepemimpinannya. Namun bagaimanapun tipe pemimpin, lanjutnya, tidak ada seorang pemimpin pun yang bisa keluar dari dilematis kebudayaan. Di satu sisi ia harus hidup dengan kebudayaan yang telah melahirkannya namun disisi lain ia harus mampu keluar dari kebudayaan itu untuk memimpin perjalanan jauh ke depan.
Strategi kebudayaan sebagai persyaratan tercapainya cita-cita kemerdekaan dipaparkan mendalam oleh Sobari. “kita harus mengasumsikan kekayaan dunia ini berupa barang statis dan jumlahnya tak bertambah.” Maka, bila negara maju mengurasnya dengan kecepatan kerdipan mata dan sekejap itu pula mereka menjadi kaya raya. Namun disisi lain, kekuatan mereka telah menimbulkan penderitaan bagi pihak lain yaitu negara-negara yang belum berkembang. “Untuk itu kita memerlukan kekayaan lebih besar untuk menyusun cara-cara menghadapi tantangan hidup yang berubah dengan cepat. Kita membutuhkan kemampuan tak terbatas buat menghadapi tantangan yang juga tak terbatas. Kemampuan itu kita sebut sebagai strategi kebudayaan.” Ujar Sobari Melalui diskusi ini, diharapkan dapat menghasilkan dasar pemikiran bagi terbentuknya Strategi Kebudayaan Nasional untuk membangun masa depan Indonesia sesuai dengan cita-cita kemerdekaan serta dapat membangun cara, pola pikir, keyakinan, norma-norma yang dianut bersama, sehingga proses pembangunan selanjutnya dapat terarah dan terukur dan mendapat gambaran yang jelas bagaimana budaya kita dapat mendorong pencapaiaan tujuan dalam membangun masa depan. [R/SPY/UI]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar