Jakarta- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak semua pihak mengakhiri kekerasan dan lebih mendorong proses dialog dalam penyelesaian krisis politik di Libya.
"Kekerasan tidak boleh diatasi dengan kekerasan," kata Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, usai pertemuan tertutup dengan Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Martin Alan Hatful, di kantor PBNU di Jakarta, Kamis.
Ia mengakui, Presiden Libya, Muamar Gaddafi, memang pemimpin diktator.
Namun, katanya, penyelesaian krisis politik di negara kaya minyak itu tetap harus diupayakan secara damai melalui dialog.
Hal yang sama juga dikemukakan Said Aqil saat menerima kunjungan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Scott Marciel, yang datang sesudah rombongan Dubes Inggris.
Persoalan Libya salah satu isu yang dibicarakan PBNU dengan Dubes Inggris dan Dubes AS, selain isu lainnya seperti tentang Timur Tengah, perubahan iklim, dan pendidikan.
Kepada Dubes Martin Hatful, Said Aqil menyampaikan bahwa Inggris selama ini dinilai sebagai negara yang paling baik di mata dunia muslim dibandingkan dengan negara Eropa lainnya.
Ia mengatakan, komitmen Inggris terhadap kebebasan beragama dan penghargaan terhadap kesetaraan telah dibuktikan dengan adanya warga negara itu beragama Islam yang menjadi anggota parlemen dan pejabat publik.
Ia berharap, Inggris mampu mempertahankan citra positif itu dengan tidak mengambil sikap dan kebijakan yang salah.
"Inggris jangan sampai salah dalam mengambil sikap yang nantinya bisa mengubah citranya di dunia muslim. Kalau bisa citranya semakin bagus di dunia muslim," katanya.
Martin Hatful menjelaskan, keterlibatan Inggris dalam operasi militer di Libya untuk menjalankan resolusi PBB yang ditujukan melindungi warga sipil dari serangan militer pendukung pemerintahan Gaddafi.
"Ini bukan konflik antara Barat dengan Islam," kata Martin Hatful. [R/Ant]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar