Jakarta - Sekitar 100 aktivis dan supporter Greenpeace melakukan pawai cahaya lilin di Bundaran HI, Jakarta, Selasa (29/3/2011) untuk menyatakan solidaritas kepada korban gempa bumi, tsunami, dan krisis nuklir yang terjadi di Jepang.
“Simpati kami yng mendalam ada bersama rakyat Jepang yang setelah didera gempa bumi dan tsunami kini harus menghadapi situasi tak pasti, dimana semestinya saat ini Jepang bisa berkonsentrasi dan menyediakan segala sumberdaya untuk upaya penyelamatan dan pemulihan, tetapi mereka kini harus menghadapi krisis akibat penggunaan tenaga nuklir yang memang sangat beresiko,” ujar Nur Hidayati, Indonesia Country Representative Greenpeace Asia Tenggara.
Pemerintah Jepang sepenuhnya menyadari bahwa level tinggi dari radiasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima/Daiichi telah menyebar melebihi zona evakuasi resmi, tetapi belum mengambil keputusan atau memberi lebih banyak informasi kepada masyarakat mengenai resiko radiasi itu terhadap kesehatan.
Para ahli radiasi Greenpeace terus memonitor situasi di lapangan dan menyatakan level radiasi mencapai 10microsieverts per jam di Desa Iitate yang terletak 40 kilometer di barat laut dari pembangkit listrik Fukushima/Daiichi, dan 20 km dari zona evakuasi. Level ini sudah cukup tinggi untuk segera dievakuasi.
Pada Minggu (27/3/2011), tim mengukur radiasi di Iitate mencapai antara 7 hingga 10 microsieverts per jam.
Level terdeteksi merujuk pada radiasi eksternal, dan tidak mengukur resiko selanjutnya yang bisa terjadi seperti penyakit pernafasan. Limit per tahun yang bisa diterima publik adalah 1000 microsieverts. Saat ini zona evakuasi adalah 20 km sekitar Fukushima, sementara masyarakat yang berada antara 20 km hingga 30 km disarankan untuk tetap tinggal di dalam ruangan.
“Krisis nuklir adalah bencana buatan manusia, yang dampaknya akan dirasakan lama bahkan saat masyarakat Jepang selesai membangun kembali kehidupan mereka dari kerusakan akibat gempa buni dan tsunami. Akibat dari krisis Fukushima telah dimengerti oleh dunia, dimana rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir baru telah ditentang di mana-mana. Selain itu, keamanan dari pembangkit yang sudah ada juga terus dipertanyakan,” ujar Arif Fiyanto, Jurukampanye Energi Greenpeace Asia Tenggara.
“Ini saatnya industri nuklir untuk membersihkan diri dari bahaya nyata tenaga nuklir dan berhenti untuk menyebarkan kebohongan kepada negara-negara seperti Indonesia dan negara ASEAN lain. Langkah paling tepat bagi Indonesia dan pemerintah lain di seluruh dunia adalah dengan cara berinvestasi besar-besaran pada efisiensi energi serta pemanfaatan sumber energi terbarukan,” imbuhnya.
Bersama European Renewable Energy Council, Greenpeace telah menyusun skenario energi yang akan memenuhi 95% suplai energi dunia dari energi terbarukan pada 2050; energi yang biasa diandalkan untuk menyediakan lebih banyak lapangan kerja, distribusi sumber listrik yang makin merata bagi seluruh lapisan masyarakat, serta bebas dari pengaruh variasi harga minyak. Dalam skenario ini, program efisiensi energi ambisius ditambah pembangunan dan penggunaan energi terbarukan secara massal berjalan pararel, sehingga pada 2050 sistem energi global akan ditopang oleh energi terbarukan hingga 95%. Penyediaan energi juga akan mengimplementasikan sistem desentralisasi dan mengandalkan sumber terbarukan seperti angin, sinar surya dan geothermal. [R/GRP]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar