Jakarta - Aktivis pecinta lingkungan, Greenpeace meragukan perhitungan Universitas Gajah Mada (UGM) soal kebutuhan listrik dalam negeri yang menjadi alasan perlunya PLTN. Menurut Greenpeace, hingga saat ini belum ada data akurat mengenai kebutuhan listrik dalam negeri. Sehingga, data yang dimunculkan UGM dan berbagai institusi, menurut Greenpeace, merupakan alasan pembenar untuk memuluskan pembangunan PLTN.
"BPPT memperkirakan kebutuhan listrik dalam negeri 150.000 MW. Perusahaan swasta yang akan membangun PLTN, memperkirakan kebutuhan listrik 450.000 MW. Ini UGM memperkirakan 100.000 MW. Belum ada data akurat, yang ada asumsi untuk legalitas pembangunan PLTN. Perhitungan UGM masih perlu diragukan, debatable," kata Juru Kampanye Bidang Energi Greenpeace Indonesia Arifiyanto saat dihubungi detikcom, Rabu (23/3/2011).
Menurut perhitungan Greenpeace, sumber energi alternatif selain fossil (minyak dan batubara) masih mampu menopang energi listrik Indonesia. Sebab, kata Arif, Indonesia kaya sumber energi alternatif seperti bio gas, geothermal, angin dan matahari.
"Perhitungan kami, jangankan tanpa PLTN. Tanpa pembangkit tenaga minyak bumi, batubara atau uap, masih bisa tercukupi oleh sumber energi terbarukan. Asalkan dieksploitasi maksimal, konsumsinya efisien dan tidak untuk kepentingan tertentu," tandas Arif.
"Sekarang saja, kebutuhan listrik 1 mal besar di Jakarta sama dengan kebutuhan 1 kecamatan di luar Jawa. Kalau kebutuhan listrik merata dan tidak dimonopoli untuk kepentingan tertentu, pembangkit listrik dengan sumber energi alternatif sangat mencukupi," tandas Arifiyanto.
Sebelumnya, Ketua jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM, Sihana menyatakan energi listrik sudah memasuki tahap kritis, bila tidak ditolong dengan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Sihana memperkirakan, kebutuhan 100.000 MW listrik dalam negeri pada tahun 2025 tidak mencukupi bila mengandalkan energi fosil dan energi alternatif.
"Kebutuhan energi di Indonesia saat ini cukup kritis. Pembangunan PLTN di Indonesia diharapkan bisa mengatasi kemungkinan adanya krisis energi," kata Sihana kepada wartawan di kampusnya, kemarin, Selasa (22/3/2011). [R/dtc]
"BPPT memperkirakan kebutuhan listrik dalam negeri 150.000 MW. Perusahaan swasta yang akan membangun PLTN, memperkirakan kebutuhan listrik 450.000 MW. Ini UGM memperkirakan 100.000 MW. Belum ada data akurat, yang ada asumsi untuk legalitas pembangunan PLTN. Perhitungan UGM masih perlu diragukan, debatable," kata Juru Kampanye Bidang Energi Greenpeace Indonesia Arifiyanto saat dihubungi detikcom, Rabu (23/3/2011).
Menurut perhitungan Greenpeace, sumber energi alternatif selain fossil (minyak dan batubara) masih mampu menopang energi listrik Indonesia. Sebab, kata Arif, Indonesia kaya sumber energi alternatif seperti bio gas, geothermal, angin dan matahari.
"Perhitungan kami, jangankan tanpa PLTN. Tanpa pembangkit tenaga minyak bumi, batubara atau uap, masih bisa tercukupi oleh sumber energi terbarukan. Asalkan dieksploitasi maksimal, konsumsinya efisien dan tidak untuk kepentingan tertentu," tandas Arif.
"Sekarang saja, kebutuhan listrik 1 mal besar di Jakarta sama dengan kebutuhan 1 kecamatan di luar Jawa. Kalau kebutuhan listrik merata dan tidak dimonopoli untuk kepentingan tertentu, pembangkit listrik dengan sumber energi alternatif sangat mencukupi," tandas Arifiyanto.
Sebelumnya, Ketua jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM, Sihana menyatakan energi listrik sudah memasuki tahap kritis, bila tidak ditolong dengan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Sihana memperkirakan, kebutuhan 100.000 MW listrik dalam negeri pada tahun 2025 tidak mencukupi bila mengandalkan energi fosil dan energi alternatif.
"Kebutuhan energi di Indonesia saat ini cukup kritis. Pembangunan PLTN di Indonesia diharapkan bisa mengatasi kemungkinan adanya krisis energi," kata Sihana kepada wartawan di kampusnya, kemarin, Selasa (22/3/2011). [R/dtc]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar