Pengunjung

Senin, 04 April 2011

Menggagas Kampung Dombos di Igirmranak Kejajar

Bermodal Kecintaan Pada Domba Telah Ada Lebih Dari 80 Peternak

Kades Igirmranak Joko Disadono tergolong sabar. Meski memimpin Desa terpencil di bawah kaki gunung perahu dengan luas kawasan desa hanya 1,10 kilometer ia tetap tak mau ketinggalan dengan para Kades desa lain yang cukup maju. Demi menciptakan kampung Domba Wonosobo (Dombos) kini bersama warga ia lagi giat-giatnya membudidayakan binatang tersebut. Bagaimana kondisinya?


Wonosobo - Hidup berada di kawasan dingin yang jarang sekali tersinari cahaya matahari tak menyurutkan Kades Igirmranak Kecamatan Kejajar menggagas kampung Dombos. Yakni sebuah kampung yang mayoritas penduduknya memelihara ternak kambing asli Wonosobo ini. Gagasan itu telah teraplikasi dari adanya 80 peternak yang memelihara lebih dari 200 ekor. Padahal jumlah kepala keluarga (KK) di desa yang letaknya cukup terpencil itu 213 KK. Bahkan penduduknya cuma 685 jiwa.
Ketika koran ini mendatangi desa tersebut binatang itu menyembur-nyemburkan ujung bibirnya. Dengan dibuatkan kandang khusus di mana letak makanan dan badan mereka dipisahkan membuat hewan berbulu putih layaknya sutra itu sangat nyaman. Apalagi di sampingnya terdapat puluhan karung rumput hijau. Tentu saja membuat binatang itu tak bosan melahap tiap kali diberi makanan.
“Ini sesuai keinginan pak bupati dan ibu wakil bupati Wonosobo yaitu menciptakan satu desa satu produk. Ya jujur saja di Desa kami memang tak memiliki kekayaan alam yang bisa dihandalakan untuk wisata namun dengan membuat kampung dombos ini orang akan tertarik untuk berbondong-bondong datang ke desa kami,” katanya sambil menunjukkan puluhan Dombos yang sedang mengembek dengan keras Kamis (31/3).
Untuk harga Dombos menurut Joko memang harganya saat ini lagi jatuh. Yakni Rp 3 juta setengah per ekor. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya hargan satu ekor dombos mencapai Rp 10 juta. Namun karena penduduk setempat telah menguatkan komitmennya memelihara Dombos hanya semata-mata berdasarkan hobi dan kecintaan pada binatang tersebut akhirnya soal harga tak menjadi kendala. Warga tetap bersemangat memelihara dombos.
“Tiap pagi warga merumput. Satu kandang pekerjaan itu bisa disokong oleh lima warga karena pemeliharaan Dombos dipelihara berdasarkan kelompok di masing-masing RT,” kata Kades yang di desanya tiap kali jam 12.00 WIB ke atas pasti turun hujan tersebut.
Meskipun kedinginan air dan udara di desa yang cukup tinggi tersebut namun dombos-dombos tampak sehat. Bulu mereka yang tebal seakan menjadi pelindung badan dari serangan hawa dingin yang tiap saat menyerang. Bahkan dari badan dombos tersebut tak menimbulkan aroma tak sedap justru malah dari binatang itu tak menimbulkan bau sama-sekali. Yang hanya bau rumput yang masih segar yang diambil pemiliknya dari kebun.
Salah seorang peternak dombos Munadhom mengaku harga anak dombos yang baru lahir sebesar Rp 500 ribu. Di kandang ternaknya terdapat 10 ekor dombos yang usianya sudah tua.”Ya tiap pagi dan sore pasti selalu dibersihkan kotorannya, diberi minum juga.Binatang ini sudah dipelihara warga Igirmranak sedari dulu,” tuturnya.
Kendati masih sebatas gagasan namun Kades Joko mengaku sudah menyiapkan lahan, kandang yang menjadi pusat penakaran ternak Dombos tersebut. Tiap kali binatang itu beranak warga disarankan tidak menjualnya supaya jumlahnya lebih banyak dan tiap rumah warga dapat memiliki dombos dengan jumlah minimal 8 ekor di kandang tiap rumah mereka. [R/Yudi]

ASEAN Harus Tampil sebagai Pemimpin di Pertemuan Iklim PBB

– Koalisi A-FAB, Greenpeace, Oxfam & WWF

Bangkok – Para aktivis iklim Asia Tenggara mengenakan jaket musim dingin, jas hujan dan busana pantai untuk menggambarkan kekacauan iklim yang kini terjadi, bertemu Christiana Figueres, Sekretaris Eksekutif United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di pintu masuk United Nations Convention Center di Bangkok hari ini, menyampaikan desakan kesepakatan iklim global ambisius kepada para pemimpin dunia.
Aktifitas ini digalang oleh A-FAB (ASEAN for a Fair, Ambitious and Binding Climate Deal), koalisi regional yang terdiri dari Greenpeace, Oxfam dan WWF, mendesak pemimpin negara-negara Asia Tenggara untuk maju ke depan dalam putaran terakhir negosiasi iklim PBB yang akan hari ini dimulai di Bangkok.
“Kami mengirim pesan kepada semua delegasi, terutama delegasi ASEAN, bahwa kesepakatan iklim global yang mengikat dan adil adalah masalah masa depan rakyat Asia Tenggara. Pekan ini, pemerintah-pemerintah bertemu untuk menyepakati tujuan-tujuan yang telah ditetapkan di Pertemuan Iklim PBB di Cancun Desember tahun lalu. Mereka akan merundingkan adaptasi, aspek keuangan iklim, penanggulangan dan mekanisme transfer teknologi. Demi kepentingan kawasan, sangat penting adanya suara kuat dari ASEAN, dalam merespons tantangan nyata perubahan iklim,” ujar Zelda Soriano, Penasehat Politik Greenpeace Asia Tenggara.
Dalam beberapa pekan terakhir, ibukota Thailand dibingungkan oleh fenomena suhu di bawah 20 derajat celcius di tengah musim panas, sementara di kawasan selatan Thailand terjadi banjir dan tanah longsor yang berdampak pada dua juta orang. Pekan ini, bencana serupa terjadi di Filipina bagian tengah dan utara, demikian juga di Indonesia.
“Betul, di Asia Tenggara khususnya, perubahan iklim bukan lagi sesuatu yang diperdebatkan tetapi sudah menjadi kenyataan yang memprihatinkan. Kawasan kita terus didera bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. Bahkan, pertemuan iklim PBB di Bangkok ini berlangsung di tengah fenomena iklim ekstrim. Delegasi ASEAN harus memastikan bahwa sumberdaya akan diberikan untuk proses adaptasi yang sangat dibutuhkan, serta mendesak negara maju untuk memperbesar target pengurangan emisi mereka,” tegas Shaiimar Vitan, Koordinator Kampanye dan Kebijakan Asia Tenggara, Oxfam.
“A-FAB adalah rekomendasi kebijakan untuk ASEAN sejak Bangkok intersessional. Diantara kesepakatan ini adalah jaminan adanya komite adaptasi yang terdiri dari mayoritas negara berkembang, yang harus mentaati pendekatan sensitif gender dan berbasis negara dalam kebijakan dan program adaptasi nasional, dikaitkan dengan mekanisme keuangan. ASEAN harus memastikan proses adaptasi ini mendapat sumberdaya yang cukup dari Green Climate Fund yang dibentuk di Cancun, karena sangat dibutuhkan oleh mayoritas populasi miskin,” ujar Sandeep Chamling Rai dari WWF.
Karena itu A-FAB mendesak ASEAN mewujudkan terjadinya puncak emisi global pada 2015 dan mendesak negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca paling sedikit 40 persen pada 2020, dan paling tidk penurunan 95 persen dari tingkat emisi 1990 pada 2050 mendatang. Tugas berikutnya adalah memutuskan pengukuran paling akurat dan adil serta terpercaya (MRV) dalam memantau pengurangan emisi gas rumah kaca.
Dibentuk oleh koalisi Greenpeace, Oxfam dan WWF, ASEAN for a Fair, Ambitious and Binding Global Climate Deal (A-FAB) bertujuan untuk menajamkan dan memperkuat posisi ASEAN sebagai blok regional di UNFCCC, mengingat masyarakat di kawasan ini sedang berjuang melawan dampak buruk perubahan iklim. Lebih jauh lagi, koalisi ini bertujuan untuk mendukung upaya ASEAN dalam memastikan partisipasinya pada komunitas global, mengikuti proses yang terus berlangsung. [R]