Pengunjung

Kamis, 07 April 2011

Perkawinan Kaum Samin Terancam

Kudus - Samin sering mendapat anggapan negatif. Caranya mbalelo terhadap penjajah Belanda masih terbawa. Kini, prosesi perkawinan aliran kepercayaan Samin dipandang tidak sah. Bahkan terancam oleh RUU.
Begitu mendengar kata Samin, mayoritas masyarakat akan berpikir negatif. Asosiasi umumnya, orang akan disebut Samin apabila ditanya A, malah menjawab B. Berlagak bodoh (mbodoni) seperti inilah yang pernah menjadi cara khas Kaum Samin menentang penjajah Belanda. Sayang, kesan itu tak lepas hingga kini. Orang terjanjur menyebut “Samin” terhadap orang yang bodoh atau berlagak bodoh. Apalagi kaum penganut ajaran Samin Surasentiko, memegang teguh beberapa tradisinya.
Di Kudus terdapat ratusan penganut aliran kepercayaan Samin. Mereka tersebar antara lain di daerah; Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo, Desa Larekrejo, Desa Kutuk (Kecamatan Undaan), Dukuh Mijen, Desa Bulungcangkring (Kecamatan Jekulo), Dukuh Goleng, Desa Pasuruhan Lor(Kecamatan Jati).
Di Kudus, prosesi adat perkawinan penganut Samin sering mendatangkan kontroversi dan dianggap tidak sah secara hukum. Perkawinan Kaum Samin tidak melibatkan pemerintah, baik Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Dinas Catatan Sipil, sehingga tidak formal karena tidak tercatat dalam administrasi pemerintah.
Menurut Pengamat Kebijakan Publik di Kudus, Zamhuri, anggapan masyarakat tersebut tidak sepenuhnya benar. Perkawinan Kaum Samin dianggap tidak sah oleh masyarakat karena mereka tidak mencatatkan perkawinannya pada administrasi pemerintah. Padahal, pada penganut aliran kepercayaan (agama) mayoritas masyarakat, juga terjadi hal demikian. Dimana pernikahan cukup dilaksanakan secara adat keagamaannya.
Setelah era reformasi, tutur Zamhuri, masyarakat Samin mendapatkan kebebasan dalam menjalankan adat, budaya, dan keyakinannya. Termasuk dalam melaksanakan tata cara perkawinan menurut adat dan tradisi masyarakat Samin. “Apalagi adat perkawinan Samin telah mendapatkan pengakuan terhadap perkawinan penganut kepercayaan,” tukasnya.
Hal itu dijamin oleh Undang-undang RI No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Peraturan Presiden (Perpres) No 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil serta Peraturan Pemerintah RI No 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No 23 Tahun 2006.
Jadi, tambah Zamhuri, secara hukum perkawinan mereka adalah sah karena dijamin undang-undang, namun tidak terdapat dalam administrasi. “Administrasi khan tugasnya tidak untuk mengesahkan, tapi UU yang mengesahkan,” tegas lelaki yang juga menjabat sebagai Humas Universitas Muria Kudus (UMK)ini.
Zamhuri menyarankan agar masyarakat tidak menyalahkan prosesi adat perkawinan Kaum Samin, dengan cara mengukur dari keyakinannya.

Terancam RUU
Peneliti masyarakat Samin dan Fenomena tersebut mengemuka dalam seminar bedah buku Nihilisasi Peran Negara, Potret perkawinan Samin, Moch Rosyid mengatakan, adat perkawinan yang dilakukan Kaum Samin juga terancam oleh RUU peradilan agama yang mengatur mengenai pernikahan siri, kawin kontrak dan poligami. “RUU tersebut mengancam adat perkawinan penganut aliran kepercayaan lokal, termasuk Kaum Samin,” katanya.
Latar belakang munculnya RUU tersebut, menurut Rosyid, dilatarbelakangi oleh praktik kawin kontrak (nikah Mut’ah) di Bogor. Di mana praktik seperti ini merugikan pihak perempuan. “Khan berbeda dengan Kuam Samin. Mereka sudah saling percaya secara lisan, bahkan tidak mengenal poligami,” katanya.
Perkawinan Kaum Samin bagi Rosyid, merupakan kekayaan adat lokal (Local Wisdom) yang perlu dilindungi oleh negara. Pengalaman penelitian yang dilakukan Rosydi sejak tahun 2004 menunjukkan perkawinan Kaum Samin memiliki keunikan tersendiri. Prosesi perkawinan hampir memiliki kesamaan dengan mayoritas masyarakat. Perkawinan dimulai dari Nyumuk, Ngendek, Nyuwito, Paseksen, dan Tingkep. Dalam adat perkawinan umumnya, Nyumuk sama dengan pinangan, sementara Ngendek adalah untuk menyebut tukar cincin. “Perkawinan Kaum Samin tidak jauh berbeda dengan prosesi perkawinan mayoritas masyarakat,” tegasnya.
Hasil penelitian secara live in yang dilakukann oleh Rosyid juga tidak membuktikan anggapan negatif bahwa Kaum Samin identik dengan sikap bergalagk bodoh. “Sikap mbodoni Kaum Samin hanya kepada penjajah Belanda. Bahkan sebagai minoritas, sebagian dari mereka malah dipercaya oleh mayoritas warga yang bukan Samin untuk menjadi ketua rukun warga setempat,”pungkasnya. [R/UMK]