Pengunjung

Jumat, 25 Maret 2011

TNI Tak Akan Kirim Pasukan Perdamaian ke Libya

Jakarta - TNI tidak akan mengirim kontingen Garuda yang tergabung dalam pasukan perdamaian PBB ke Libya. Menurut Panglima TNI, Laksamana Agus Suhartono, pelaksaan misi di Libya saat ini adalah pembuat perdamaian (peace making) bukan penjaga perdamaian (peace keeping).
"Tidak, Libya itu kan bukan peacekeeping tapi peacemaking, kita tidak terlibat di
situ. Kita mengaplikasikan chapter 6 yaitu peacekeeping," ujar Laksamana Agus Suhartono.
Agus menyampaikan itu usai menutup Jakarta International Defense Dialogue 2011 di
JCC, Senayan, Jakarta, Jumat (25/3/2011).
Jika PBB mengirim pasukan perdamaian ke Libya, Indonesia pun belum pasti akan mengirim pasukan. Menurutnya, saat Indonesia masih fokus mengirimkan pasukan perdamain ke Libanon, Kongo dan Sudan. Saat ini ada 1.816 personel TNI yang bergabung dengan PBB.
"Karena kita masih banyak juga yang ditangani untuk peacekeeping," jelasnya.
Agus menjelaskan, kemungkinan TNI malah akan mengirimkan pasukan zeni tambahan ke Haiti. Pasukan yang dikirim sebanyak 1 kompi untuk membantu pemulihan pasca gempa.
Dalam waktu dekat akan kirimkan tambahan ke Haiti. Itu kompi zeni, karena Haiti itu
masalahnya adalah bencana, kita akan kirim," terang Agus. [R/dtc]

Ongkos Sekutu di Libya: 1 Tomahawk Rp 8,7 M, Pesawat F-15E Jatuh Rp 261 M

Washington - Operasi militer Sekutu terhadap Libya memakan biaya yang tidak sedikit. Bahkan, pemerintah Amerika Serikat (AS) kewalahan dengan biaya operasi yang begitu besar dan tengah meminta bantuan bagi Pentagon yang 'kekurangan dana' akibat operasi militer atas Libya ini.
Salah seorang anggota Senat dari Partai Demokrat, Carl Levin yang juga merupakan Ketua Komisi Senat Angkatan Bersenjata, menyatakan pihaknya telah mendesak Departemen Pertahanan agar segera melaporkan perkiraan akurat mengenai biaya operasi militer tersebut. Hal ini menyusul munculnya perkiraan kasar biaya operasi yang cukup tinggi, yakni mencapai US$ 1 miliar.
Seperti dilansir washingtonpost.com, Rabu (23/3/2011), operasi militer Libya ini merupakan operasi yang menggunakan biaya tak terduga dan anggarannya berada di luar anggaran rutin Pentagon. Sehingga diperlukan adanya alokasi tambahan secara khusus. Tidak seperti biaya operasi AS di Irak dan Afghanistan yang dianggarkan secara khusus dan terpisah dari anggaran rutin Departemen Pertahanan.
Biaya operasi di Libya ini sebenarnya sudah ditekan seminimal mungkin. Namun, pengeluaran untuk senjata, bahan bakar dan kendaraan atau persenjataan yang hilang turut menyumbang banyak dalam membengkaknya biaya operasi militer ini.
Perlu diketahui, sebanyak 162 peluru kendali (rudal) Tomahawk yang diluncurkan pada 4 hari pertama operasi militer Odyssey Dawn di Libya saja memakan biaya sekitar lebih dari US$ 1 juta (Rp 8,7 miliar) per rudal. Jumlah ini terus bertambah karena rudal tersebut harus diganti dengan yang baru lagi.
Kemudian, pesawat tempur F-15E yang terjatuh di Libya pada Selasa (22/3) lalu, ternyata memakan biaya sekitar US$ 30 juta (Rp 261 miliar). Biaya ini akan bertambah karena harus mengganti pesawat tersebut dengan yang masih baru.
Jumlah tersebut masih ditambah lagi oleh biaya bahan bakar bagi pesawat tempur yang berjumlah kurang lebih 150 buah. Belum lagi bahan bakar bagi kapal pengangkut bahan bakar yang membawa bahan bakar bagi pesawat-pesawat tersebut.
Para ahli dari Pusat Penilaian Strategis dan Anggaran AS merilis hasil studi yang memperkirakan, bahwa penetapan pembatasan zona larangan terbang di Libya memakan biaya sekitar US$ 30 - 100 juta setiap minggunya. Biaya tersebut merupakan biaya bagi patroli pesawat-pesawat di zona larang terbang Libya.
Jika AS kewalahan, lain halnya dengan Inggris. Konon, biaya operasi militer Inggris di Libya yang diberi nama 'ELLAMY' mencapai 3 juta Euro per harinya, atau setara dengan Rp 36,9 miliar per hari. Jumlah tersebut diungkapkan oleh seorang ahli pertahanan Inggris kepada independent.co.uk, Selasa (22/3).
Jumlah tersebut termasuk biaya 120 rudal jelajah yang diluncurkan tentara Inggris di Libya pada Sabtu (19/3) lalu, di mana setiap rudalnya berharga lebih dari 500 ribu Euro atau setara dengan Rp 6,1 miliar.
Ditambah lagi dengan biaya tambahan dari patroli udara di zona larangan terbang dan menekan pasukan Khadafi di daratan. Untuk setiap jamnya, patroli udara tentara Inggris di Libya menggunakan pesawat Tornado GR4 dan Typhoon memakan biaya 35 ribu dan 70 ribu Euro masing-masing (sekitar Rp 400 juta - 800 juta).
Jumlah-jumlah tersebut tidak termasuk biaya yang harus dikeluarkan jika ada kerusakan atau kerugian akibat pesawat jatuh selama operasi berlangsung.
Ongkos yang mahal ini jugalah yang mendorong AS untuk segera menyerahkan komando penyerangan kepada Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang terdiri dari 28 negara. Dengan dikendalikan NATO, maka makin banyak negara yang 'urunan' dalam operasi militer di Libya. Apalagi AS masih harus mengongkosi operasi tentaranya di

Irak dan Afghanistan.[R/dtc]

Sampah Jadi Ancaman Serius

Yogyakarta - Pertumbuhan jumlah penduduk yang begitu pesat serta perubahan perilaku hidup sehat yang terjadi di Kabupaten Bantul, merupakan salah satu faktor penyebab meningkatnya volume sampah yang terjadi di daerah itu.
Meningkatnya volume sampah yang mengancam Kabupaten Bantul tersebut, menurut Ketua Komisi C DPRD Bantul, Drs Agus Subagyo. Saat ini, tercatat produksi sampah mencapai 10 ton per hari, dari periode sebelum yang sekitar 5 ton.
Ledakan sampah ini, menurut Agus Subagyo, tidak dapat dihindari, karena pertumbuhan jumlah masyarakat serta perubahan perilaku hidup sehat yang terjadi dalam lingkungan masyarakat kita. "Sejak beberapa bulan terakhir ini, ledakan sampah memang cukup tinggi," kata Agus di Gedung KPRI Bantul pada acara pendapat Raperda Pengelolaan Sampah, Jumat (25/3/2011).
Lebih lanjut Aus mengatakan, untuk membatasi ledakan sampah saat ini tengah dirancang Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengelolaan Sampah yang menginduk pada Undang-undang No 18 tahun 2008. Diharapkan, jika raperda ini menjadi peraturan daerah (Perda), dapat mengikat dan memaksa masyarakat untuk mengelola sampah secara mandiri. Pengelolaan yang dilakukan di sumber sampah adalah kunci pengurangan produksi sampah.
Selain itu, juga musti dilakukan pemanfaatan ulang, dan daur ulang sampah. "Jika mekanisme ini berlangsung baik, sampah dapat menjadi sumber daya energi yang berguna," kata politisi dari Partai Golkar ini. Dengan pengelolaan yang terpadu, maka Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Piyungan, akan menjadi tempat pemprosesan sampah menjadi sumber energi.
Agus menuturkan, pada tahun 2012, TPA Piyungan akan ditutup karena volume yang sudah memenuhi kapasitas. Dia menegaskan bahwa wacana perluasan TPA akan membawa implikasi baru terhadap masyarakat, terutama dalam hubungan sosial.

Hegemoni Birokrasi dalam Pendidikan

• Resensi buku
Judul buku : Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional
Penulis : Ki Supriyoko, et all
Editor : Ali Muhdi Amnur
Penerbit : Pustaka Fahima, Jogja
Cet I : 2007
Tebal : xix + 232

-----------------------------------

Rendahnya Human Development Report Indonesia dalam laporan UNDP (United Nation for Development Programme) yang cenderung terus menurun, memaksa kita tenggelam dalam keprihatinan sekaligus menunduk malu atas melesatnya kualitas rakyat negara-negara kecil seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand dan Filipina.
Bahkan dengan negara-negara kecil yang tidak begitu dikenal dalam peta percaturan politik dunia seperti Equatorial Guinea, Cape Verde, Belize, Maldives, Antigua dan Barbuda pun kita harus malu. Karena SDM mereka lebih bagus dari SDM negara besar bernama Indonesia ini.
Ya, apa yang salah dengan negara ini. Sehingga pembangunannya cenderung menurun. Belum lagi kalau bicara masalah ekonomi rakyat, yang jauh dari sejahtera. Lalu, apa yang dimiliki oleh bangsa ini. Masih adakah yang bisa dibanggakan?
Jika pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia (humanisasi) saja sudah tidak lagi bisa diharapkan, maka harus dicermati kesalahan apa yang terjadi. Karena kita tidak mau bangsa ini hancur dan menjadi tertawaan bangsa lain bukan?

Politisasi pendidikan
Persoalan tidakmajunya pendidikan di Indonesia, salah satunya adalah, para elit negeri ini selalu mempolitisasi apa saja termasuk pendidikan untuk kepentingan pribadi. Keuntungan pribadi meski harus mengorbankan banyak warga bangsa, menjadi mentalitas buruk yang menjadi pemandangan yang sudah kaprah di negeri ini.
Tiadanya komitmen dalam menjalankan roda pemerintahan, juga menjadi kendala. Bagaimana bisa menjadi bangsa yang besar, kalau aturan yang dibuat sendiri pun, tidak dijalankan?
Pendidikan misalnya. Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003 menyebutkan, bahwa "Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN ..."
Namun bukti konkret terhadap UU itu sampai sekarang pun masih menjadi wacana. 354,1 trilyun rupiah APBN tahun 2003 hanya 13,6 trilyun (3,8 %) saja yang dialokasikan untuk pendidikan. Padahal kalau menurut kuota 20 persen, maka dana yang harus dikucurkan untuk pendidikan adalah 70,8 trilyun. (Supriyoko, x).
Dan tanpa menuding, sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar APBN itu digunakan untuk para birokrat seperti rumah dinas, mobil dinas dan berbagai tunjangan lain yang sangat tidak rasional.
Salah satu media nasional bahkan dengan berani merilis sebuah berita, bahwa dana APBN tahun 2007, hanya sekitar 40 persen saja yang digunakan untuk rakyat dan pembangunan. Selebihnya adalah untuk kesejahteraan para pejabat negara yang terhormat.

Gagas – gugat
Buku yang ditulis oleh para mahasiswa Magister Pendidikan Islam (PI) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga ini adalah berupa bunga rampai yang sangat monumental. Dimana buku ini memuat filosofi, gagasan sekaligus gugatan (baca: kritik) terhadap realitas pendidikan di negeri ini.
Buku ini menjadi wacana yang lain daripada yang lain, karena para penulisnya adalah penulis yang benar-benar netral dan tidak mempunyai kepentingan tertentu dalam sebuah jabatan politis.
Para penulisnya adalah para "intelektual murni", sehingga apa yang dikemukakan benar-benar adalah sebagai kritik yang membangun bagi pemerintah ini di masa-masa mendatang, khususnya dalam hal pendidikan.
Buku ini menjadi lengkap dengan "kehadiran" pakar pendidikan Ki Supriyoko yang menyumbangkan berbagai wacana menarik sekaligus kritik pedas dalam pengantarnya. Sementara Ainurrafiq Dawam, Doktor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sehari-hari menjadi tenaga pengajar di Uin Sunan Kalijaga, memberikan kritik-kritik tajam terutama seputar sistem birokrasi yang cendrung membodohkan.
Hegemoni birokrasi yang cenderung menempatkan orang-orang yang so birokrat inilah yang dalam pandangannya, "menyesatkan" dan tidak akan membuat dunia pendidikan maju. Karena aktifitas intelektual akan selalu berhadapan dengan birokrasi yang rigid, kaku dan hegemonik, yaitu masalah peijinan. (214).
Kalau dunia pendidikan sudah sedemikian dipolitisir dan sangat hegemonik, lalu kapan pendidikan di Indonesia mengalami kemajuan? [R]

UMK Menangi PHK I tahun 2011

Kudus - Universitas Muria Kudus (UMK) memenangkan Program Hibah Kompetisi Institusi (PHKI) B dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tahun 2011.
Hal itu merujuk Surat Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Nomor 368/E/T/2011, berisi  hasil evaluasi akhir dalam bentuk kunjungan Dirjen Dikti terhadap usulan Program PHKI Tahun Anggaran 2011. Di mana dari sebanyak 78 proposal perguruan tinggi negeri/swasta (PTN/S) yang lengkap, UMK bersama 28 PTS dan tujuh PTN dinyatakan sebagai pemenang.
Humas UMK, Zamhuri mengatakan, Program PHKI B dimaksudkan sebagai upaya peningkatan akses, mutu, dan relevansi lulusan. Program studi yang terlibat pada kegiatan tersebut adalah Manajemen S1, Agroteknologi S1, Bimbingan dan Konseling S1, Ilmu Hukum S1, dan Sistem Informasi S1.
Program PHKI B ini, menurut Zamhuri, antara lain diusulkan untuk pembiayaan program; 1)Peningkatan kualitas dan akses mahasiswa baru, 2).Optimalisasi program pembelajaran berbasis kompetensi, dan 3)Peningkatan daya saing lulusan. “Kita akan terus memacu kualitas UMK agar lebih baik dan berdaya saing,” tegasnya. Dana hibah yang diusulkan sebesar Rp 8.989.444.000 untuk kegiatan tahun 2011, 2012, dan 2013.
Ini adalah kali kedua, UMK memperolah pendanaan dari Dikti untuk program PHKI untuk Perguruan Tinggi (PT) Negeri maupun Swasta se-Indonesia. Sebelumnya, jelas Zamhuri, UMK pernah mendapatkan program pembiayaan PHKI A selama 3 tahun pada 2008. “Program berjalan hingga tahun 2010 kemarin,” katanya.
Program PHKI A PHKI yang diperoleh UMK dipergunakan untuk membiayai tiga program antara lain; 1) Program pengembanga sistem pengelolaan sumber daya dan tata kelola PT, 2) Peningkatan kinerja dan kapasitas sistem informasi universitas yang terintegrasi, 3) Peningkatan kinerja dan kapasitas sistem penjaminan mutu.
Wakil Ketua task force PHKI B UMK, Ir. Masruki Kabib, MT., mengatakan,  salah satu program yang menarik pada PHKI B adalah peningkatan kualitas dan akses mahasiswa baru.  Melalui pembiayaan tersebut, akses masyarakat, terutama yang kurang mampu tetapi prestasi akademiknya bagus, dapat dibiayai dari program ini. “Makin banyak masyarakat yang kurang beruntung tetapi berprestasi akan memperoleh beasiswa dari UMK,” jelas Kabib. [R/UMK]