Pengunjung

Selasa, 10 Mei 2011

SPM dan PPT, Upaya Maksimal Tangani Kekerasan

Blora - Keberadaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) bagi korban kekerasan perempuan - anak, sangatlah penting. Ini untuk memberikan kemudahan pelayanan secepat mungkin.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi jaringan penanganan kekerasan dan traficking di Kabupaten Blora yang digelar Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Keluarga Berencana (BPMD dan KB) di Gedung Korpri Jalan Gor Mustika, Selasa (10/5).
Diskusi tersebut difasilitasi Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Provinsi Jawa Tengah dan dihadiri berbagai unsur kelembagaan, yakni Polri, Kejaksaan, aktivis gender, serta organisasi sosial keagamaan lain.
Narasumber dalam kegiatan tersebut adalah Sulistyarno (BP3AKB Jateng), Herlina (Dinas Sosial Jateng), Rofiqhoh (Dinas Kesehatan Jateng), Tri Putranti Novitasari.
(Yayasan Setara Semarang), dan Ninik Joemita (LBH APIK Semarang). Sulistyarno mengemukakan, SPM bertujuan agar perempuan dan anak korban kekerasan bisa mendapatkan layanan minimal yang dibutuhkan.
"Maksud adanya SPM adalah sebagai panduan bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan layanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan," jelasnya.
Mengenai jenis-jenis pengaduan yang dilayani, yaitu penanganan pengaduan, pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan dan bantuan hukum, serta pemulangan dan reintegrasi sosial.
"Bentuk - bentuk kekerasan dalam SPM adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, penelantaran, serta eksploitasi (traficking)," tambahnya.
Tri Putranti Novitasari mengutarakan, ada beberapa prinsip umum dalam model penanganan kasus kekerasan dan traficking. Prinsip umum itu antara lain demi kepentingan terbaik anak, tidak ada diskriminasi, penghargaan terhadap pendapat anak, adanya keadilan dan kesetaraan gender, serta terjaganya kerahasiaan korban.
"Selain prinsip umum ini, ada mekanisme kerjasama antarpihak yang terkait dalam seluruh tindakan pemberantasan perdagangan anak, yang meliputi upaya pencegahan, pemulihan dan reintegrasi sosial, perlindungan hukum, hingga peningkatan partisipasi masyarakat," tegasnya. [R/CN]

Jumlah Wisatawan ke Dieng Meningkat

Wonosobo- Sejak Januari hingga Mei 2011 lalu wisatawan di objek wisata candi Dieng Plateau Teater, Telaga Warna, dan kawah Sikidang terus meningkat.Pada Januari wisatawan asing ada sebanyak 562, Februari 464, Maret, 595 dan Mei 780 orang. Kenaikan angka pengunjung juga terjadi pada wisatawan domestik baik melalui terusan (tiket 3 ojek tersebut diatas) maupun khusus di Telaga Warna.
Kepala Resort Sumber Daya Alam (SDA) wisata alam Telaga Warna Pardiyono mengatakan wisatawan terusan bulan Januari sebanyak 2200, Feburari 2600, Maret dan April sedikitnya 3000 orang. Sedang wisatawan domestik antara lain Januari 562, Feburari 464, Maret 595 dan April 780.
“Untuk bulan ini belum bisa diformulasikan jumlahnya. Namun diprediksi meningkat karena saat ini lagi musim liburan,” katanya Minggu (8/5).
Menurutnya, wisatawan domestik rata-rata dari kalangan pelajar, mahasiswa, dan kaum professional dari kota Jakarta, Bandung dan Surabaya. Sedangkan wisatawan asing dari negara-negara di kawasan Asia dan Eropa. Mereka biasanya mengikuti studi tour ke pulau Jawa dengan rute Jakarta, Bandung, Wonosobo, Magelang, Jogjakarta hingga Bali.
“Faktor pemicu meningkatnya wisatawan yang berkunjung ke Dieng juga karena tempat wisata ini sering tayang di acara televisi yang secara otomatis jadi ajang promosi,” jelasnya.
Lebih lanjut Pardiyo menjabarkan, bahwa dalam hal pembelian tiket wisatawan memang berbeda. “Pembeli ada yang terusan membeli Rp 12 ribu untuk empat objek yaitu Dieng Plateau Teater, Telaga Warna dan Kawah Sikidang,” paparnya.
Kendati demikian, lanjut dia, ada pula wisatawan yang hanya ingin berkunjung ke Telaga Warna saja. Untuk yang wisatawan semacam tersebut pihaknya melayani dengan tiket khusus masuk Talaga Warna.”Rata-rata pengunjung yang khusus masuk wisatawan domestik,” ujarnya.
Dijelaskannya semua dana yang terkumpul dari pengumpulan tiket disetorkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Wonosobo sebagai PAD. Namun ada juga ke Perhutani karena sebagian lahan Telaga warna adalah milik perhutani.
“Sayangnya ada sejumlah fasilitas bagi wisatawan asing yang belum tersedia,” pungkasnya. [R/Yudi]

Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila Perlu Revitalisasi

Kudus - Kesadaran atas prinsip dasar terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, kian tidak dihayati oleh bangsa Indonesia. Pasalnya, selama 32 tahun Pancasila dibajak sebagai alat kepentingan politik dan kebijakan untuk asimilasi SARA oleh rezim Orde Baru. Akhirnya, masyarakat menjadi alergi dan trauma untuk mengedapankan ke dua prinsip ini, hingga seolah asing.
Hal itu diungkapkan oleh Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Hamdi Muluk dalam Seminar Nasional Psikologi Multikulturalisme yang diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus (UMK) pada Senin (9/5) di Hotel Kenari Kudus.
Melalui makalahnya yang berjudul “Issu Multikultural di Indonesia; Kondisi Terkini dan Tantangan ke Depan”, Muluk membedah mengenai ke arah manakah multikulturalisme Indonesia harus dibawa. Orde Baru misalnya, memaksakan multikultural untuk diasimilasikan. Sehingga orang etnis Cina harus berganti nama Indonesia. Sebaliknya, oleh reformasi yang mengalami disorientasi, semangat kebebasan yang diusung justru memperlemah ikatan-ikatan di atara kelompok suku, agama, ras dan kebudayaan. Kondisi ini muncul beriringan ketika pemerintah gagal mengelola hampir semua sektor publik.
“Hilangnya kesadaran publik inilah yang semakin mempertebal rasa sektarianisme dan mengentalkan perasaan ingroup masing-masing kelompok,” jelasnya.
Senada dengan Muluk, Pembantu Rektor I UMK, Drs. Masluri, MM. dalam sambutannya mengatakan, saat ini nilai-nilai ke-Indonesiaan telah luntur. Sesuatu yang sepele dapat berbuntut pada pertikaian. Hal ini menurutnya, salah satunya disebabkan elit yang tidak layak menjadi teladan.
“Jangan-jangan Indonesia sudah hilang? Akan tetapi tidak secara geografis, namun nilai dan karakter manusianya,” katanya.
Masluri juga khawatir oleh keberhasilan dunia pendidikan di Indonesia dalam membentuk manusia yang cerdas akan tetapi gagal membentuk pribadi yang baik. Pasalnya, pelaku penyalahgunaan wewenang, baik itu dalam bentuk korupsi atau tindakan amoral lain, adalah produk dari pendidikan tinggi.
“Apalagi Mata Kuliah Pancasila sudah dihilangkan? Bagaimana pemahaman Pancasila akan tertanam?” katanya menegaskan.
Atas dasar fenomena seperti inilah, Fakultas Psikologi UMK mengadakan seminar bertema “Upaya Membumikan Semboyan Bhineka Tunggal Ika Sebagai Salah Satu Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” ini.
“Kekerasan dan konflik selalu mewarnai Ke-Indonesiaan terkini. Kami prihatin atas realitas seperti ini,” kata Dekan Fakultas Psikologi, Drs. M. Suharsono, M.Si. sembari membandingkan dengan keharmonisan yang pernah terjalin pada masa awal berdirinya Negara Indonesia.
Melalui seminar seperti ini, Suharsono berharap dapat memberi kontribusi dalam rangka merekonstruksi kesadaran Bhineka Tunggal Ika. “Agar Indonesia ke depan lebih baik,” pungkasnya.
Revitalisasi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika
Akhir-akhir ini, kata hamdi Muluk, gagasan multikulturalisme dan Bhineka Tunggal Ika semakin hilang dalam ruang diskusi dan interpretasi masyarakat Indonesia. Padahal, beberapa daerah telah mengindikasikan memunculkan gagasann dan upaya untuk disintegrasi. Sehingga menjadi kebutuhan untuk kembali menelaah dan membuka perdebatan nasional mengenai gagasan Bhineka Tunggal Ika dan gagasan multikultural versi indenesia.
Indonesia, kata Muluk, telah memiliki modal sosial besar berupa “Kesepakatan Bersama” dalam Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila. “Keduanya perlu direvitalisasi agar menjadi basis kebijakan multikultural di Indonesia. Ini adalah tantangan bagi masa depan,” ujarnya.
Sebuah kenyataan historis, kata Muluk, bahwa Indonesia terbentuk oleh multi-nation. Di mana keragaman etnik, suku dan kebudayaan selanjutnya bersepakat untuk membentuk nation-state (negara bangsa). Kesadaran untuk mengikat keragaman inilah yang oleh founding father membentuk prinsip Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila.
“Ketika hubungan SARA mengalami kecenderungan membawa konflik, menjadi sebuah keharusan untuk kembali mengingatkan akan platform bersama NKRI,” pungkas Muluk. [R/Farih]