Pengunjung

Sabtu, 19 Maret 2011

Gatot Pranoto dan Keinsafan Masa Lalu

Nama Gatot Pranoto tidak bisa dipisahkan dari yayasan pemerhati budaya Mahameru di Blora. Sebuah organisasi yang kini mengelola museum yang menyimpan berbagai peninggalan sejarah masa lalu.
Gatot Pranoto bukanlah nama asing di mata para kolektor barang antik. Pasalnya, sebelum menjadi orang yang getol menyelamatkan warisan sejarah budaya, khususnya di kota kelahirannya, ia adalah penjual barang-barang antic yang cukup dikenal. Tidak hanya di Blora, tetapi hamper seluruh wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Cukup lama laki-laki kelahiran 9 Oktober 1959 ini ‘bekerjasama’ dengan para pemburu barang-barang antik.  “Nama saya sudah cukup familiar di telinga para pemburu barang antik saat itu,” kenangnya yang mengku berjualan barang antic sejak 1979.
Waktu itu, ia kuliah di Yogyakarta. Benda-benda pusaka bukan barang yang utama. “Justru yang saya jual waktu itu rata-rata kayu, kerami, kain, dan logam. Semuanya dari Blora. Sementara pembelinya tidak cuma dari dalam negeri, tetapi ada yang dari luar negeri,” ujarnya.
Ia berkecimpung di dunia jual-beli barang antik sekitar 10 tahun. Namun lambat laun, ia pun insaf, dan kegiatan jual-beli barang antic yang dilakoninya adalah aktifitas yang kurang baik. “Keadaan, degradasi perilaku, serta jati diri yang dalam situasi pragmatisme dan konsumerisme yang mengkhawatirkan, telah menyadarkan saya,” katanya.
Keadaan berubah 180 derajat. Dari penjual barang-barang antic, Gatot Pranoto menjadi sosok yang sangat getol untuk menyelamatkan warisan budaya masa lalu. Baginya, warisan budaya dan peninggalan-peninggalan sejarah masa lalu, harus lah dijaga dan dilindungi sebagai pembelajaran. “Warisan masa lalu itu bisa menjadi infiltrasi terhadap budaya asing,” paparnya.
Di mata Paryanto, keinsafan Gatot Pranoto berdampak besar bagi masyarakat Blora. “Berangkat dari  pengalamannya, Pak gatot menjadi penganjur untuk nguri-uri budaya,” katanya.
Pak Gatot Pranoto pula, tambahnya, yang berjuang membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga sejarah, seni, dan budaya. “Sebelum ada Pak Gatot tidak ada yang peduli. Mahameru awalnya juga banyak yang mencibir. Tetapi kami memahami, proses penyadaran masyarakat akan pentingnya warisan sejarah masa lalu memang belum selesai, tetapi masih harus diperjuangkan,” tandasnya. (Rosidi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar