Pengunjung

Jumat, 25 Maret 2011

Hegemoni Birokrasi dalam Pendidikan

• Resensi buku
Judul buku : Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional
Penulis : Ki Supriyoko, et all
Editor : Ali Muhdi Amnur
Penerbit : Pustaka Fahima, Jogja
Cet I : 2007
Tebal : xix + 232

-----------------------------------

Rendahnya Human Development Report Indonesia dalam laporan UNDP (United Nation for Development Programme) yang cenderung terus menurun, memaksa kita tenggelam dalam keprihatinan sekaligus menunduk malu atas melesatnya kualitas rakyat negara-negara kecil seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand dan Filipina.
Bahkan dengan negara-negara kecil yang tidak begitu dikenal dalam peta percaturan politik dunia seperti Equatorial Guinea, Cape Verde, Belize, Maldives, Antigua dan Barbuda pun kita harus malu. Karena SDM mereka lebih bagus dari SDM negara besar bernama Indonesia ini.
Ya, apa yang salah dengan negara ini. Sehingga pembangunannya cenderung menurun. Belum lagi kalau bicara masalah ekonomi rakyat, yang jauh dari sejahtera. Lalu, apa yang dimiliki oleh bangsa ini. Masih adakah yang bisa dibanggakan?
Jika pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia (humanisasi) saja sudah tidak lagi bisa diharapkan, maka harus dicermati kesalahan apa yang terjadi. Karena kita tidak mau bangsa ini hancur dan menjadi tertawaan bangsa lain bukan?

Politisasi pendidikan
Persoalan tidakmajunya pendidikan di Indonesia, salah satunya adalah, para elit negeri ini selalu mempolitisasi apa saja termasuk pendidikan untuk kepentingan pribadi. Keuntungan pribadi meski harus mengorbankan banyak warga bangsa, menjadi mentalitas buruk yang menjadi pemandangan yang sudah kaprah di negeri ini.
Tiadanya komitmen dalam menjalankan roda pemerintahan, juga menjadi kendala. Bagaimana bisa menjadi bangsa yang besar, kalau aturan yang dibuat sendiri pun, tidak dijalankan?
Pendidikan misalnya. Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003 menyebutkan, bahwa "Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN ..."
Namun bukti konkret terhadap UU itu sampai sekarang pun masih menjadi wacana. 354,1 trilyun rupiah APBN tahun 2003 hanya 13,6 trilyun (3,8 %) saja yang dialokasikan untuk pendidikan. Padahal kalau menurut kuota 20 persen, maka dana yang harus dikucurkan untuk pendidikan adalah 70,8 trilyun. (Supriyoko, x).
Dan tanpa menuding, sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar APBN itu digunakan untuk para birokrat seperti rumah dinas, mobil dinas dan berbagai tunjangan lain yang sangat tidak rasional.
Salah satu media nasional bahkan dengan berani merilis sebuah berita, bahwa dana APBN tahun 2007, hanya sekitar 40 persen saja yang digunakan untuk rakyat dan pembangunan. Selebihnya adalah untuk kesejahteraan para pejabat negara yang terhormat.

Gagas – gugat
Buku yang ditulis oleh para mahasiswa Magister Pendidikan Islam (PI) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga ini adalah berupa bunga rampai yang sangat monumental. Dimana buku ini memuat filosofi, gagasan sekaligus gugatan (baca: kritik) terhadap realitas pendidikan di negeri ini.
Buku ini menjadi wacana yang lain daripada yang lain, karena para penulisnya adalah penulis yang benar-benar netral dan tidak mempunyai kepentingan tertentu dalam sebuah jabatan politis.
Para penulisnya adalah para "intelektual murni", sehingga apa yang dikemukakan benar-benar adalah sebagai kritik yang membangun bagi pemerintah ini di masa-masa mendatang, khususnya dalam hal pendidikan.
Buku ini menjadi lengkap dengan "kehadiran" pakar pendidikan Ki Supriyoko yang menyumbangkan berbagai wacana menarik sekaligus kritik pedas dalam pengantarnya. Sementara Ainurrafiq Dawam, Doktor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sehari-hari menjadi tenaga pengajar di Uin Sunan Kalijaga, memberikan kritik-kritik tajam terutama seputar sistem birokrasi yang cendrung membodohkan.
Hegemoni birokrasi yang cenderung menempatkan orang-orang yang so birokrat inilah yang dalam pandangannya, "menyesatkan" dan tidak akan membuat dunia pendidikan maju. Karena aktifitas intelektual akan selalu berhadapan dengan birokrasi yang rigid, kaku dan hegemonik, yaitu masalah peijinan. (214).
Kalau dunia pendidikan sudah sedemikian dipolitisir dan sangat hegemonik, lalu kapan pendidikan di Indonesia mengalami kemajuan? [R]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar