Pengunjung

Rabu, 15 Juni 2011

Jasroni, Anggota Banser yang Beristri Sembilan

Ketua Banser Kaliwiro Jasromi menjadi anggota Banser sejak organisasi ini didirikan sesuai khitah Nahdlatul Ulama tahun 1926. Pada era 1958 itulah ia mulai bertugas. Usianya kini sudah 101 tahun. Namun badannya masih tegap.Dalam perjalanan hidupnya istrinya sebanyak 9 orang. Ia memiliki anak 16 orang. Enam isterinya telah berpulang. Kini ia hidup bersama tiga istri.

Wonosobo - Keriput tulang pipi Jasromi seakan menjadi saksi kiprahnya sebagai abdi masyarakat. Memang kadang orang semacam ini jarang sekali terendus media. Namun di kabupaten Wonosobo perannya cukup signifikan. Tidak hanya sebagai anggota Banser namun juga menjadi mandor hutan sejak zaman dulu hingga sekarang. Ia tak ubahnya pahlawan penjaga kelestari alam Wonosobo.
Menurut warga yang beralamat di Desa Winongsari Kecamatan Kaliwiro ini memiliki catatan unik sepanjang hidupnya. Ia turut mendukung gerakan banser pada tahun 1964. Dalam perjalanan waktu yang terus bergulir lelaki tua bertubuh kurus ini pernah memenangi zaman Anshor era Perjuangan Islam Indonesia (PII) melawan penjajah.
“Setelah Islam Hizbullah ia turut ngaji di pondok pesantrennya KH Kahar Muzakar daerah Sapuran. Saya pernah jadi menjadi buruh di pabrik teh Tambi,” paparnya ketika ditanya anggota Banser saat harlah ke 77 di alun-alun Wonosobo Sabtu (30/4).
Mbah Jasromi, demikian akrab disapa, mengaku memiliki Sembilan isteri. Nama-nama isterinya antara lain Parsiyah, Murni, Maryasri, Rahayu, Sulasih, Romdiyah, Murni, Maryam, dan Jumiyati. Namun seusai diantara 9 isterinya melahirkan 16 anaknya enam isterinya meninggal dunia.
“Enam isteri saya meninggal terserang penyakit stroke. Kini tinggal tiga,” katanya.
Dalam memimpin keluarga besarnya yang tak mudah dilakukan banyak orang, kakek puluhan cucu ini memiliki kiat dan cara unik tersendiri untuk menghadapinya. Menurut dia, adil adalah kuncinya. Implementasi tersebut, lanjut dia, berkunjung ke rumah isteri selama tujuh hari atau seminggu. Kemudian dilanjutkan dari isteri satu ke rumah isteri yang lain.Selama di rumah masing-masing isteri ia memberi nafkah lahir dan batin.
“Kunci utamanya menanamkan hidup apa adanya terhadap isteri dan rasa syukur sebesar-besarnya kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan kepada kita,” katanya dengan nada optimis tanpa beban.
Kendati sejumlah giginya kini telah tak lagi tumbuh, namun mbah Jasromi tetap nampak gagah. Tak terlihat rasa beban hidup didalam raut mukanya karena ia mengaku hanya menjalankan perintah agama Islam dengan benar-benar tanpa ada rasa canggung dan beban yang terlalu tinggi.
“Kini sebagian besar anak saya sudah menikah. Dulu ketika waktu masih muda masih terus berkunjung ke rumah tiga isteri saya. Namun sekarang saya tinggal bersama isteri yang terakhir,” ucapnya.
Untuk menyambung hidup sehari-hari bersama isterinya terakhir tersebut, mbah Jasromi menjadi petugas Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Ia mengaku cukup gajinya dengan bekerja menjadi mandor di bawah naungan perhutani Kedu Selatan yang berkantor di Kabupaten Purworejo. Tiap hari ia selalu menyisir lorong-lorong terjal berkabut penuh dengan ranting pohon diiringi nyanyian rimba yang masih perawan.
“Sekarang di hari tua saya, saya sudah tenang. Karena saya berprinsip hidup ini tinggal menjalani saja,” ucapnya.
Ditanya bagaimana kiat agar panjang umur lelaki tua yang masih mengenakan seragam Ansor itu terkekeh.Apalagi tertawanya disambut puluhan personel Banser lain yang turut mengelilinginya. Namun meski tak menyebut pasti, mbah Jasromi seakan menjelaskan rahasia hidup hingga berusia 101 tahun.
“ Saya hanya bersyukur saja menjalani hidup ini. Itu buah manis dari iman kepada Allah SWT,” katanya penuh semangat.
Menurutnya kondisi hutan Wonosobo antara zaman dahulu dengan sekarang jauh berbeda. Jika dulu alam Wonosobo masih hijau dan lebat dengan aneka tumbuh-tumbuhan. Namun saat ini sebagaian sudah rusak akibat kerakusan manusia. Padahal pohon keberadaannya sangat vital.
“Alam hutan di Wonosobo harus di selamatkan. Paling tidak butuh puasa menebang pohon hingga 50 tahun baru bisa benar-benar kembali sediakala. Kalau tidak ancaman bencana tanah longsor ini akan terus terjadi hampir di semua wilayah Wonosobo,”pungkasnya. [R/Yudi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar