Judul Buku: Maklumat Sastra Profetik
Penulis : Kutowijoyo
Penerbit : Grafindo Litera Media Yogyakarta
Halaman : viii + 120
Cet : I, Juni 2006
——————————————————— Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan nama.
Pepatah di atas, agaknya sangat tepat untuk melukiskan cendekiawan dan budayawan besar “Resi” Kuntowijoyo. Sebuah nama yang memiliki sejumlah identitas (meminjam istilah Dr. Sangidu, M.Hum).
Kuntowijoyo, lahir di Yogyakarta 18 September 1943. Sejak muda, ia sangat perhatian (concern) dengan berbagai bidang kajian. Hingga akhirnya, Doktor lulusan Universitas Columbia ini dikenal luas sebagai: akademisi, sastrawan, aktivis pergerakan, budayawan, kolumnis, penulis buku, khatib.
Berbagai gelar sosial – kesenimanan di atas, cukup menjadi saksi seperti apa sosok Kuntowijoyo. Namun, agaknya gelar sastrawan – budayawan lah yang lebih cocok disandingkan dengan nama besarnya.
Sastra pembebasan?
Sastra, baik yang berupa sya’ir (puisi) maupun cerita pendek dan lain sebagainya, bukan sekadar ekspresi picisan sang sastrawan atas imajinasi yang didapatnya. Ia juga tidak sekadar permainan makna para penyair dan sastrawan.
Melainkan harus ada kandungan sebuah pesan atas karya – karya. Dan biasanya, para penyair – sastrawan itu lebih cenderung memilih sya’ir – sastra pembebasan (perjuangan) dan puitis. Dua hal ini menjadi sesuatu yang tak terbantahkan.
Lihat saja. Sastrawan besar semacam Chairil Anwar, selalu membuat puisi – puisi pembebasan (pejuangan) untuk merefleksikan kebenciannya terhadap penjajah. “Aku ini binatang jalang/ dari kumpulannya terbuang/ …. Meski seribu peluru menembus dadaku/ aku akan tetap meradang/ menerjang/ …”
Dengan lihainya Chairil mencipta puisi – puisi pembebasan itu. Namun ketika ia ketemu dengan seorang gadis yang kemudian dinikahinya untuk pertama kali, ia juga mencipta puisi – puisi puitis untuk sang kekasih pujaan hati.
Saya kira, dua tema di atas lah yang mendominasi dunia kepenyairan dan sastrawan kita. Sajak pembebasan WS. Rendra, antara lain ketika ia menggugat kesewenang – wenangan para anggota Dewan (DPR), yang tidak lagi sesuai fungsinya sebagai wakil rakyat, lewat puisinya:
“Rakyat adalah sumber kedaulatan/ kekuasaan tanpa rakyat/ adalah benalu tanpa karisma/ rakyat adalah bumi/ politik dan kebudayaan adalah udara/ bumi tanpa udara/ adalah bumi tanpa kehidupan …”
Sastra profetik
Dua tema dalam dunia kepenyairan – sastra di atas, memang sebuah realitas. Dua hal itu sangat mudah dicipta, karena manakala seseorang tidak sepakat dengan sebuah kondisi (situasi) tertentu, ia bisa dengan mudahnya menggugat dan mengekspresikannya dalam sebuah puisi maupun karya sastra lainnya.
Selain itu, orang juga akan lebih mudah mencipta puisi – syair dan karya sastra puitis ketika ia sedang jatuh cinta dan atau putus cinta. Dengan lancer seseorang akan mencipta sebuah karya maha dahsyat berkaitan dengan tema cinta yang sangat puitis (ingat bagaimana Qois mencipta sya’ir – sya’ir nya untuk perempuan yang sangat dicintainya: Laila).
Meski dua hal di atas lah yang dominant, namun agaknya Kuntowijoyo berbeda. Ia mencipta karya – karyanya bukan sekadar untuk mencurahkan ekspresi ketidaksepakatan atas sebuah kondisi atau mencipta hal – hal puitis dalam setiap karyanya.
Itulah kehebatannya. Baginya, sastra bisa lebih dari itu. Bisa memberikan pencerahan dan kemanfaan untuk mendekatkan diri kepada Yang Esa. Ia menyebutnya sebagai sastra profetik.
Lewat sastra profetik yang bersumber Kitab – kitab suci, adalah senjata orang beragama untuk melawan musuh – musuhnya (fungsi pembebas), materialisme dan sekularisme (h.24).
Secara sederhana, skema pemikiran sastra profetik penulis buku “Mantra Penjinak Ular” ini, adalah bahwa tugas sastrawan lewat karya – karyanya, adalah memperluas ruang batin, serta menggugah kesadaran ketuhanan dan kesadaran kemanusiaan. Habl min Allah wa habl min an-nas (h.7).
Oleh karena itu, kehadiran buku Maklumat Sastra Profetik yang ditulis empat hari menjelang meninggalnya Kuntowijoyo ini, wajib dibaca oleh para penyair, sastrawan, budayawan dan umum, agar mengetahui bahwa tugas para sastrawan bukanlah menciptakan karya dengan bahasa yang mendayu – dayu dan puitis. Karena ada peranan yang lebih besar, yaitu sastra sebagai sarara membuka ruang menuju kesadaran ketuhanan dan kemanusiaan. [R]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar