Pengunjung

Rabu, 27 April 2011

Wayang Tak Biasa dari 'Kampung Sebelah'

''Indonesia itu bagus. Tetapi kalau negaranya jelek, itu karena penyelenggara negaranya. Pancasila juga bagus. Cuma, penyelenggara negara saja yang saat ini tidak lagi setia pancasila, sehingga kelihatan tidak bagus.''

Jlitheng Suparman. Dalang 'Wayang Kampung Sebelah' dari Solo inilah yang melontarkan berbagai kritikan atas berbagai realitas yang mengidap para elit negeri ini, dalam sebuah pementasan berjudul ''Yang atas mengganas, yang bawah beringas'' di halaman pusat penjualan produksi kriya di Jepon, Blora, Senin (25/4) malam.
Wayang yang tak biasa. Keluar dari pakem. Namun karena tidak biasa itulah, sehingga membuat rasa penasaran masyarakat sekitar untuk tidak beranjak, sejak dimulainya pementasan pada pukul 21.00 hingga menjelang pukul 24.00.
Narasi yang menggelitik disertai joke-joke segar yang sesuai dengan konteks kekinian, juga membuat penonton seringkali tak kuasa menahan tawa. Atau paling tidak, menyunggingkan senyum karena kepiawaian dan kejenakaan sang dalang memainkan memainkan wayang-wayangnya.
Penonton, misalnya, tak harus menahan diri untuk tertawa saat menyaksikan 'adegan' show dengan lakon oma ora mari-mari, raja dangdut di alam wayang kampung sebelah. Wayang itu menampilkan juga sosok dengan membawa gitar, mirip dengan Rhoma Irama. Atau saat giliran selanjutnya, Jlintheng menampilkan sosok mirip 'si Ratu Ngebor' Inul Daratista.
Lagi-lagi, gelak tawa tak dapat ditahan dari ratusan penonton yang hadir. Apalagi pementasan wayang tersebut, disertai pengiring musik yang begitu memesona. Luluk (drum), Yayat (Jimbe), Kukuh (kendang), Diaz (bass), Max Baihaqi (gitar), Gendot (saxofon), Sartono (flute), serta Narwanto dan Babahe (tonnik). Pada vokal, ada Cahwati dan Dwi Jaya.

Pemberi Penerang
Bimo Listiono, pengamat budaya dari Komunitas Pasang Surut, mengatakan, wayang pada zaman dulu merupakan media dakwah untuk memberikan penerangan pada ummat. ''Ini wayang kreasi yang sangat bagus. Orang yang melihat langsung bisa mencermati pesan yang ingin disampaikan.''
Itu yang menurutnya menjadi pembeda dengan wayang purwa yang biasa dimainkan para dalang pada umumnya. ''Ini kreasi wayang zaman modern yang sangat bagus. Tidak banyak cing cong. Penonton juga langsung paham. Ini yang dinamakan roso jati atau j ati roso,'' ujarnya.
Didik Lukardono, penonton yang juga pecinta seni mengatakan, menyampaikan pesan moral kepada masyarakat umum melalui media seperti kreasi wayang kampung sebelah, ini sangat tepat. ''Kritik sosialnya tinggi, dan sesuai dengan kehidupan sosial sehari-hari,'' paparnya. ''Wayang kampung sebelah sangat bagus mengemas kritik-kritiknya,'' lanjutnya.
Sedang Jlitheng Suparman, sang dalang, ditemui Suara Merdeka usai pementasan menjelaskan, dalam setiap pagelarannya, memang selalu mengingatkan penonton akan empat pilar kebangsaan yang kini dilupakan. Yaitu Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tungga Ika.
''Indonesia berdiri berdasarkan komitmen ini. Kalau lupa dengan komitmen yang telah dibuat, berarti telah lupa kepada aturan main yang telah dibuat,'' katanya.
Sementara mengenai tema ''Yang atas mengganas, yang bawah beringas'' yang diangkat, ia mengutarakan terinspirasi dari sebuah peristiwa di sebuah kabupaten. Di mana suatu ketika masyarakat mau mengadukan masalah ke DPRD, namun gedung dalam keadaan kosong, sehingga berbuntut pada tindak anarkisme dan perusakan gedung.
''Ini yang menjadi inspirasi kami. Pesan yang ingin kami sampaikan adalah, boleh melakukan kritik, tetapi jangan sampai merusak, karena yang rugi nantinya juga masyarakat sendiri. Mengkritik boleh, tapi jangan merusak fasilitas umum,'' tegasnya. [Rosidi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar