Semarang - Pengajaran seluruh mata pelajaran dengan Bahasa Inggris seharusnya tidak menjadi standar utama di rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) atau sekolah berstandar internasional (SBI). Pasalnya, tidak ada jaminan pembelajaran dengan komunikasi Bahasa Inggris, bisa meningkatkan kompetensi siswa.
"Bahkan selama ini kecenderungannya, siswa justru tidak paham yang diajarkan guru karena tidak menguasai komunikasi dengan Bahasa Inggris. Begitu juga sebaliknya, penguasaan bahasa inggris belum bisa. Tak heran, justru banyak siswa RSBI yang kurang maksimal belajar.
Tidak ada jaminan RSBI yang mengharuskan siswanya berbahasa asing, kualitasnya juga internasional," kata pengamat pendidikan dari Unnes dan Unissula, Prof Retmono. Menurutnya, kalau memang pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional ingin meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris para siswa di tingkat SMP maupun SMA, bukan dengan mengajarkan seluruh mata pelajaran dengan Bahasa Inggris.
"Bukan masalah banyak siswa yang tidak menguasai Bahasa Inggris, tetapi lebih kepada mengedepankan kearifan lokal demi meningkatkan jiwa nasionalisme siswa. Di Jepang atau negara maju, mana ada RSBI/SBI yang pembelajarannya harus dengan Bahasa Inggris," tutur dia.
Globalisasi memang sudah membelit, tetapi kata dia, bukan berarti pembelajaran diarahkan condong ke pendidikan asing. Guna meningkatkan kompetensi siswa, pemerintah harus mendorong para pengelola RSBI/SBI mengoptimalkan fasilitas yang dimiliki.
Retmono memandang, meski sudah banyak sekolah berstatus RSBI/SBI dan sistem tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun, tetapi dalam implementasinya, belum optimal. Bahkan, tak sedikit lulusan yang dihasilkan bermutu lebih rendah dibanding sekolah di luar RSBI/SBI.
Untuk itu, evaluasi RSBI/SBI harus dilakukan secepatnya dengan membentuk panitia khusus atau komisi yang menilai seberapa jauh keuntungan dan kekurangan RSBI/SBI. Penilaian tersebut terkait seberapa efektif tingginya anggaran yang digelontorkan dengan sistem pengajaran dan kualitas lulusan. "Jika memang keuntungannya lebih banyak, RSBI/SBI patut dilanjutkan," ungkapnya.
Dalam evaluasi tersebut, Kemendiknas harus mendengar suara warga atau stake holder pendidikan yang menghendaki pemerataan kualitas dan keadilan dalam pendidikan. "Proses dan hasil evalusasi harus dipublikasikan dan dilakukan transparan. Salah satu yang harus diikutkan dalam evaluasi yakni membandingkan hasil ujian nasional siswa RSBI/SBI dengan sekolah biasa," kata Retmono. [R/CN]
"Bahkan selama ini kecenderungannya, siswa justru tidak paham yang diajarkan guru karena tidak menguasai komunikasi dengan Bahasa Inggris. Begitu juga sebaliknya, penguasaan bahasa inggris belum bisa. Tak heran, justru banyak siswa RSBI yang kurang maksimal belajar.
Tidak ada jaminan RSBI yang mengharuskan siswanya berbahasa asing, kualitasnya juga internasional," kata pengamat pendidikan dari Unnes dan Unissula, Prof Retmono. Menurutnya, kalau memang pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional ingin meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris para siswa di tingkat SMP maupun SMA, bukan dengan mengajarkan seluruh mata pelajaran dengan Bahasa Inggris.
"Bukan masalah banyak siswa yang tidak menguasai Bahasa Inggris, tetapi lebih kepada mengedepankan kearifan lokal demi meningkatkan jiwa nasionalisme siswa. Di Jepang atau negara maju, mana ada RSBI/SBI yang pembelajarannya harus dengan Bahasa Inggris," tutur dia.
Globalisasi memang sudah membelit, tetapi kata dia, bukan berarti pembelajaran diarahkan condong ke pendidikan asing. Guna meningkatkan kompetensi siswa, pemerintah harus mendorong para pengelola RSBI/SBI mengoptimalkan fasilitas yang dimiliki.
Retmono memandang, meski sudah banyak sekolah berstatus RSBI/SBI dan sistem tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun, tetapi dalam implementasinya, belum optimal. Bahkan, tak sedikit lulusan yang dihasilkan bermutu lebih rendah dibanding sekolah di luar RSBI/SBI.
Untuk itu, evaluasi RSBI/SBI harus dilakukan secepatnya dengan membentuk panitia khusus atau komisi yang menilai seberapa jauh keuntungan dan kekurangan RSBI/SBI. Penilaian tersebut terkait seberapa efektif tingginya anggaran yang digelontorkan dengan sistem pengajaran dan kualitas lulusan. "Jika memang keuntungannya lebih banyak, RSBI/SBI patut dilanjutkan," ungkapnya.
Dalam evaluasi tersebut, Kemendiknas harus mendengar suara warga atau stake holder pendidikan yang menghendaki pemerataan kualitas dan keadilan dalam pendidikan. "Proses dan hasil evalusasi harus dipublikasikan dan dilakukan transparan. Salah satu yang harus diikutkan dalam evaluasi yakni membandingkan hasil ujian nasional siswa RSBI/SBI dengan sekolah biasa," kata Retmono. [R/CN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar