Pengunjung

Rabu, 30 Maret 2011

From Jogja With Love

Jakarta - Sampai kapan Jogja akan tetap menjadi Istimewa? Apa yang membuat Jogja tetap istimewa, sebagaimana, petilan lirik lagu yang ditembangkan Kill The DJ dan Jogja Hiphop Foundation di awal Pentas Musikal Plesetan Laskar Dagelan: From Jogja With Love di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, mulai Selasa (29/3/2011) hingga Rabu (30/3/2011)? "Karena negeri dan orangnya juga istimewa", demikian paling tidak yang tersurat dari lakon yang disutradarai Djaduk Ferianto, yang berangkat dari cerita jenaka Agus Noor, dan balutan penataan musik Kill The DJ, dengan supervisi tim kreatif Butet Kartaredjasa.
Menyimak pementasan gladi resik, yang oleh Butet disebut latihan biasa pada Senin (28/3) malam, sebagaimana lazimnya gelaran teater Gandrik yang notabene juga dimotori dua anak maestro tari Bagong Kusudihardjo itu, seperti menyaksikan parade kelucuan yang tak berkesudahan. Meski tawaran isyu yang mereka tawarkan kali ini, tentu saja, sebagaimana isyu yang Gandrik usung, atau Butet usung dalam beberapa lakon monolognya, bukan isyu yang kacangan.
Yaitu, sebagimana ditulis Agus Noor dalam pamlet pertunjukan, berikhtiar, "Memotret bagaimana Jogja adalah bagian penting dari proses menjadi Indonesia. Karena, ada sejarah yang tak terpisahkan dari masyarakat Jogja dan Indonesia. Sebuah proses yang mesti terus ditumbuhkan, hingga kita makin meyakini bahwa Indonesia hari ini adalah INDONESIA KITA. Indonesia milik bersama". Tapi, karena dari mula mengusung semangat pentas musikal plesetan, maka sepanjang pertunjukan, tak bisa dihindari yang terjadi adalah dagelan parikena layaknya pentas kelompok humor legendari Srimulat.
Ya, sepanjang pertunjukan pabrik tawa dari Jogja yang diperkuat para "natural born traditional artist" itu tak henti-hentinya mengocok perut, dengan menyindir siapapun yang ingin disindirnya. Bahkan ketika baru detik pertama tiba, ketika suara presiden SBY yang terdengar dari pidato sedang menegaskan bahwa keberadaan Jogja yang Istimewa dengan sistem monarki, sebenarnya bertabrakan dengan alam demokrasi. Pada detik itu juga, Marwoto, pelawak yang handal itu, langsung mampu memancing tawa bersama tiga kompatriotnya: Gareng Rakasiwi, Jonet, dan Wisben.
Mereka berempat, layaknya sesi goro-goro pada pertunjukan wayang kulit, menyindir siapa saja yang pada masa kini, sedang menjadi pusat perhatian pemberitaan. Dari kasus mantan narapidana yang ngotot memimpin organisasi sepakbola tertinggi di negeri ini meski sudah tidak dikehendaki publik, sampai kasus narapidana yang bebas melancong ke mana saja dia suka di bawah lindungan institusi negara, hingga anggota dewan yang terhormat yang berebut kursi tidak hanya di parlemen, "Bahkan hingga berebut kursi di pesawat terbang," kata Marwoto menyindir kasus anggota DRP Roy Suryo, yang ngotot enggan beranjak dari kursi pesawat, meski waktu penerbangannya keliru.

Forum Kreatif
Apalagi ketika adegan Hanung Bramantyo yang memerankan dirinya sendiri dan Susilo Nugroho tiba, kelucuan seperti menemui rumahnya kembali. Hanung yang sutradara, dan peraih dua piala Citra itu, seperti tidak ada apa-apannya ketika beradu improvisasi dengan Den Baguse Ngarso di atas panggung. Tidak juga ketika dia bermain tik tak dengan Yu Ningsih. Bahkan bisa dikatakan, dihadapan Den Baguse, Marwoto dan Yu Ningsih, Hanung yang mencoba tampil jenaka itu, tenggelam jauh dengan tiga seniman tradisi itu.
Tapi, dagelan tetaplah dagelan. Sebagaimana dikatakan Djaduk, pertunjukannnya kali ini merupakan bentuk musikal plesetan, dengan mengolah anasir musik hip-hop ke dalam kultur kehidupan masyarakat Jogja. Tidak berlebihan hampir di setiap babak, Kill The DJ atau Marzuki bersama Jogja HipHop Foundatiopn menjadi menu utama cerita lewat sejumlah single lagu mereka. Bahkan terkadang, kehadiran hiphop Jawa itu, tidak hanya menjadi latar cerita, tapi juga sekaligus jantungnya.
Kisah berlatar belakang hiruk-pikuk Jogja ketika isu monarki begitu ramai, dengan tambahan drama situasi, di mana sejumlah komedian merasa kehilangan pekerjaan: karena makin hari merasa makin kalah lucu dari para politikus, dihantarkan dengan kejenakaan yang terjaga. Tidak berlebihan pula, jika selama dua hari pementasan mereka, tiket seharga Rp 75 ribu hingga Rp 200 ribu sold out. Bahkan Butet mengatakan, tiket seharga Rp 100 ribu bertempat di tangga gedung pertunjukan, juga ludes terjual.
Selebihnya, lakon yang juga diperkuat Show Imah, Dibyo Primus, Rotra, Jahanan, Ki Jarot, dan Yu Beruk itu mengalir dengan suka-suka, dan menghantam siapa saja. Sebagai sebuah seri pertama dari serangkaian pementasan yang disiapkan dalam lakon Indonesia Kita. Yang menurut Butet, minimal digelar setiap dwi bulan itu, Pentas Musikal Plesetan Laskar Dagelan: From Jogja With Love, diharapkan benar-benar menjadi forum kreatif yang mempertemukan bermacam potensi kesenian yang ada dari berbagai daerah. Untuk kemudian saling berinteraksi dan berdialog secara kreatif, dan memunculkan ekspresi-ekspresi baru. Karena, sebagaimana dikatakan Butet, "Indonesia Kita berangkat dari kesadaran bahwa kesenian bisa menjadi rumah bersama, tempat bertumbuhnya kesadaran saling mengapresiasi dan menghargai keberagaman," katanya. [R/CN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar