Pengunjung

Rabu, 30 Maret 2011

Kritik Cerdas ‘ala Eko Budiharjo

Judul buku : Ger-geran Democrazy (Kumpulan Gayeng Semarang)
Penulis : Prof. Ir. Eko Budiharjo, M.Sc
Penerbit : Yayasan Karyawan Suara Merdeka
Cetakan I : Juni 20004
Tebal : 265 + xviii
-------------------------------------------

Kritik, bagi sebagian orang, dipandang sebagai hal yang biasa. Bahkan ada orang yang memang suka dikritik. Kritik dimaksud adalah kritik yang bersifat konstrukrif. Bukan sebaliknya: destruktif. Tetapi sebagian orang juga menganggap kritik karena perasaan tidak suka atau tidak sepakat atas suatu hal.
Untuk itu, karena tidak semua orang bisa (dan mau) dikritik, maka diperlukan manajemen, agar kritik itu tidak menimbulkan perdebatan, apalagi perpecahan. Kritik konstruktif, tentu menjadi satu alternatif. Kritik yang tidak akan menjadikan orang yang dikritik, marah. Karena -meminjam bahasanya Gus Mus- kritik sebenarnya merupakan wujud kasih dari sayang. “Hanya orang yang peduli lah yang mau mengritik.”
Bagaimana manajemen kritik yang baik dan tidak menimbulkan perpecahan, telah diajarkan Eko Budiharjo, dalam “Ger-geran Democrazy” yang diterbitkan “Suara Merdeka” pada Juni 2004. Buku lama, tapi sangat menarik untuk dibaca.
Buku ini merupakan kumpulan tulisannya di rubric ‘Gayeng Semarang” Suara Merdeka. Tulisan-tulisannya, lebih banyak berisi kritik, dan berangkat dari kondisi riil yang terjadi dimasyarakat. Bahkan sampai hal-hal yang kecil sekalipun, yang terkadang tak pernak terlintas dibenak kita. Seperti terlihat dalam tulisan yang berjudul ewuh-pakewuh dan empan papan.
Ia juga seringkali menyoroti kehidupan politik dan perilaku politik rakyat Indonesia. Negara yang (katanya) menganut paham demokrasi. Yang menempatkan hak asasi diatas segala-galanya, namun ternyata, perilaku yang dipraktikkan, sering melanggar aturan dan hak-hak asasi orang lain. Apalagi pasca bergulirnya reformasi. Era yang menghendaki kebebasan berpendapat, dan berserikat, tapi malah ditafsirkan sebagai era yang bisa berbuat semaunya dan sebebas-bebasnya. Sehingga, budayawan yang juga rektor Universitas Diponegoro (Undip) semarang, itupun meng-cover permasalahan tersebut lewat tulisannya yang berjudul “Democrazy.”
Banyak lagi tulisan-tulisannya dalam buku itu, yang sebenarnya nylekit dan sering menelanjangi para pejabat. Namun anehnya, tidak ada rasa tersinggung dan benci kepada eko. Malah, mereka (kebanyakan) merasa senang mendapatkan kritik yang membangun tersebut, karena merasa di-elingke.
Apa resepnya sehingga tulisannya yang sebenarnya (seringkali) nylekit dan suka ‘menelanjangi’ itu, tidak membuat yang dikritik tersinggung?
Ternyata, cendekiawan yang di setiap forum (seminar, kesenian, bahkan saat upacara wisudha sarjana) selalu ‘keranjingan’ membaca puisi itu, meramu kritik-kritiknya dalam tulisan- tulisan yang kocak. Kritik yang dikemas dengan nada guyon. Sehingga orang yang membaca pun lebih terasa diajak bercanda meskipun sebenarnya dikritik.
Mardiyanto. Gubernur jawa tengah dalam komentarnya di buku ini menulis, “Tulisan-tulisan eko budiharjo merupakan kontrol sosial dalam bahasa lugas bergaya cablaka banyumasan. Tulisan-tulisan ringan yang tak menyakiti dan menimbulkan dendam itu sangat dibutuhkan dalam masa reformasi”
Bisa jadi, mantan Ketua Forum Rektor itu, meniru gaya Abu Nawas. Tokoh fenomenal islam yang sangat cerdik, cerdas, dan juga sufi itu. Oleh rajanya: Harun Al-Rasyid, Ia selalu diminta membuat lelucon-lelucon yang kocak dan segar. Sehingga, seminggu saja abu nawas tidak dating menghadap raja, disuruhnyalah pengawal menjenguknya, “Apa gerangan yang menimpa abu nawas sehingga tidak menghadap raja.” Hebatnya, tidak dengan raja dan masyarakat saja yang diajak bercanda. “Sedang Tuhan pun diajaknya bercanda.”
Apa yang dilakukan Eko Budiharjo, tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan Almarhum Gus Dur dalam setiap melontarkan kritiknya, yang senang “Melawan dengan Lelucon.” Mau tahu isi buku Eko Budiharjo? Cari, dan bacalah! [R]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar