Pengunjung

Kamis, 14 April 2011

Melihat dari Dekat Ritual "Jati Nganten"

Blora - Menebang pohon jati sama sulitnya saat merawatnya. Tidak bisa asal-asalan melakukan penebangan jati, apalagi masyarakat memiliki kepercayaan, bahwa dari sekian jati yang akan ditebang, pasti ada yang memiliki 'keramat'.
Berdasarkan kepercayaan ini, maka dipilihlah satu pohon jati yang kemudian dianggap sebagai 'jati nganten'. Di sanalah ritual akan digelar, sebelum dimulai penebangan. Doa-doa dipanjatkan, agar blandong (penebang) yang bekerja diberi keselamatan dalam melaksanakan tugasnya hingga akhir.
Ritual dengan memanjatkan doa-doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sebelum memulai penebangan jati, juga terlihat saat Kantor Pemangku Hutan (KPH) Blora akan memulai penebangan di Petak 121 A RPH Nglawungan, BKPH Nglawungan, akhir Maret lalu.
Sebagaimana dalam upacara selametan lainnya, dalam ritual tersebut juga ada tumpengan dan aneka jajan pasar. 'Ubo rampai' itu lalu diletakkan bawah 'jati nganten', kemudian dipimpin tokoh masyarakat, doa-doa dipanjatkan diikuti khusyuk para blandong. Sebelum doa dilakukan, tokoh masyarakat yang memimpin upacara selametan membakar kemeyan terlebih dahulu.
''Doa ini kita panjatkan kepada Allah Swt agar pekerja diberikan keselamatan dalam menjalankan tugasnya sampai akhir,'' terang Mulyono, Modin Desa Sumberejo, Kecamatan Tunjungan, pemimpin ritual.

Tebang Pertama
Waji, warga yang sudah empat tahun tinggal di hutan jati yang diapit oleh Gunung Gamping, Gunung Turoyo, Gunung Kepencil, dan Gunung Kertojoyo, mengatakan, dalam kepercayaan masyarakat sekitar hutan sampai saat ini, memang ada pohon-pohon yang dikeramatkan. Tak terkecuali pohon jati.
"Niki sampun dados kepercayaane masyarakat, bilih jati-jati niku dipun keramatake. Milo menawi bade dipun tebang, kedah mawi selametan rumiyin. (Ini sudah menjadi kepercayaan masyarakat, bahwa ada jati yang keramatkan. Maka saat akan menebang, harus menggelar selametan terlebih dahulu," ujar lelaki kelahiran 59 tahun lalu itu.
Mulyono, modin desa yang memimpin jalannya selametan mengemukakan, ritual yang digelar sebelum penebangan itu bukan hal syirik. ''Pada dasarnya, semua permohonan ini kami tujukan kepada Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa, agar dalam melakukan penebangan diberikan keselamatan," tegasnya.
Usai selametan, tumpeng dan ubo rampai ritual itu dimakan bersama oleh para blandong dan semua yang hadir di situ. Tak ketinggalan, Wakil Kepala Administratur (Waka ADM) KPH Blora Budi Santoso, Asper RPH NGlawungan Kastur, dan para pejabat di lingkungan KPH Blora yang hadir dalam ritual menjelang penebangan jati dilakukan, ikut menikmati hidangan yang ada.
Setelah beberapa saat beristirahat setelah makan 'nasi kajatan' dan jajanan pasar yang ada, baru kemudian penebangan dilakukan. Tidak sembarangan jati yang ditebang terlebih dahulu. ''Ingkang dipun tebang jati nganten rumiyin. Kersane mburine anut. (Yang ditebang jati nganten dulu, supaya belakangnya mengikuti,'' terang Mulyono.
Selain ritual yang digelar, hal lain yang menarik dalam prosesi penebangan jati di tengah hutan yang harus menyusuri jalanan berbatu yang cukup curam dan tajam itu, adalah adanya sapi-sapi besar yang digunakan 'nyarad' jati-jati yang telah ditebang. Nyarad adalah memindahkan jati-jati ke truk-truk yang telah tersedia, yang selanjutkan dikumpulkan di tempat penimbunan kayu. ''Pada zaman dulu jati di-sarad dan diangkut menggunakan Lori, tetapi saat ini sudah ada truk,'' ujar HUmas KPH Blora Teguh Agusman. [R]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar