Pengunjung

Senin, 14 Maret 2011

Tulang Punggung Keluarga yang Sering Dipandang Sebelah Mata

Umumnya juru parkir di kota-kota metropolis adalah laki-laki. Tetapi berbeda dengan juru parkir di depan kantor pegadaian Wonosobo. dia adalah Dian Rohiyati. Ia menjadi satu-satunya juru parkir perempuan di sini. 


Tatapan mata perempuan separuh baya itu tajam jauh memandang. Ia tak menghiraukan raungan mesin-mesin mobil dan motor yang memadat di jalan protokol Wonosobo. Tiap pagi dari pukul 07.30 WIB rompi biru bertuliskan juru parkir ia kenakan. Tak ketinggalan peluit serta topi hitam yang selalu menyertainya. 
Dian Rohiyati, perempuan paruh baya itu adalah satu-satunya tukang parkir perempuan di Wonosobo. Aktivitas menjadi juru parkir telah dilakonyanya lebih dari 30 tahun.
Dalam rentang perjalanan sejarah perpakiran di kabupaten berslogan Asri ini warga RT 4 RW 1 Kelurahan Jaraksari, ini pun telah paham dengan seluk beluk perpakiran. Menurut ibu Dian, begitu sapaan akrabnya, 30 tahun lalu harga parkir roda dua Rp 50 perak.Namun karena kondisi zaman berubah harga menjadi Rp 1000 menyesuaikan Perda baru.
“Dulu harga masih murah dan setornya ke Pemda. Tapi sekarang masih ke petugas anggota SAF 6 meski berdasar hasil rapat dengan Dishubkominfo akan ditanangani Kodim 0707 Wonosobo,” keluh perempuan beranak dan cucu dua tersebut Senin (14/3/2011).
Meski banyak dipandang sebelah mata oleh sebagian besar orang Diah tak berkecil hati. Peristiwa tragis yang pernah menimpanya berupa pemberian uang sambil dilempar ke mukanya dibarengi bentakan oleh salah seorang pemilik mobil mewah ia hadapi dengan sabar. Bahkan umpatan miring bernada buruk yang kerap ia terima tak menyurutkan niat mulianya  untuk  selalu pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sembari menjadi juru parkir.
“Pernah saya narik pemilik mobil tapi malah dibentak. Katanya harganya mahal. Padahal saya narik sesuai perda baru Rp 3000 menyesuaikan jumlah jam parkir,” ujarnya dengan tegas.
Sisi lain dari Dian ia pernah menerima pemberian uang dari seorang pemuda tampan dan cakap di masjid Jami’ Wonosobo. Pemuda yang kini menjadi seorang dokter itu memberinya uang senilai Rp 100 ribu. Menurutnya pemuda tersebut adalah warga asli Wonosobo.Semasa kecil di usia SD dia selalu dibantu ibu Dian menyeberang jalan raya saat berangkat dan pulang sekolah.
“Saya kaget dan sudah lupa dengan peristiwa itu. Tapi dokter yang kini bertugas di Kalimantan itu masih ingat. Akhirnya ya saya terima, saya ucapkan terima kasih,” tuturnya sembari terkekeh.
Dikatakan isteri Dian Haerudin, dari pekerjannya menjadi juru parkir tersebut setidaknya telah berhasil menyekolahkan anaknya hingga lulus SMA. Kini penghasilan rata-rata yang ia dapat hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari. keluarga.Sebab suaminya tidak bekerja.
“Sampai sekarang rumah masih ngontrak. Harga setahunnya Rp 1 juta 750 ribu. Yang saya keluhkan itu kenapa dalam hidup ini saya tidak bisa memberi harta pada kedua anak saya. Saya hanya bisa menyekolahkan mereka sampai lulus SMA,” keluhnya lirih dengan mata berkaca-kaca.
Dua pekan terakhir ini Dian mengaku kakinya tergelincir saat mengatur arus lalu lintas agar pemilik mobil yang parkir bisa kembali berjalan lancar. Akibanya selama dua minggu ia tidak masuk kerja lantaran operasi. Saat kedua kaki kirinya dioperasi dokter mengeluarkan ratusan beling, paku, dan kawat.Namun kondisi itu ia hadapi dengan sabar dan selalu berbaik sangka.
“Sekarang giliran kaki kanan saya yang masih sakit kalau buat jalan. Tapi bagaimana lagi anak cucu harus menyambung hidup akhirnya saya paksakan untuk kembali bekerja,” ujarnya.
Terkait setoran parkir serta pengelolaan parkir lagi-lagi perempuan ini mengeluhkan jumlah angkanya yang melejit. Yakni Rp 350 ribu per minggu. Jumlah tersebut, kata dia, sangat tidak manusiawi karena selain petugas parkir pagi juga ada untuk juru parkir untuk shif malam.
“Dulu pernah rapat bersama Dishubkominfo. Hasil rapat katanya Kodim yang mengkoordinir pengelolaan parkir. Setoran juga turun separo, tapi malah dinaikkan dengan alasan ketentuan dari Pemkab. Penariknya juga masih dari petugas SAF 6 Kalianget,” tuturnya.
Kendati petugas SAF 6 berinisial EN tiap hari Sabtu menarik setoran Rp 350 ribu namun diantara 45 juru parkir sepanjang jalan A Yani Dian satu-satunya perempuan yang berani menolak setoran sebanyak itu. Sebab menurutnya jika mau jujur dalam sebulan pengelola parkir dapat mengumpulkan uang senilai Rp 20 juta lebih. Itu dari jalan A Yani saja dengan 45 petugas parkir siang dan malam.
“Padahal pengelola parkir setor ke Pemkab untuk PAD itu paling cuma Rp 6 juta 750 ribu per bulan. Ini mestinya menjadi perhatian serius pihak terkait agar pemerintah tidak kalah dan dipermainkan oleh preman,” katanya tegas.
Dian menambahkan menurutnya hal tersebut sudah dibicarakan ke pak Agus petugas Dishubkominfo. Dari pak Agus katanya mau dikomunikasikan terlebih dulu dengan pak Gatot Hermawan. Namun sampai sekarang belum ada kepastian agar para juru parkir tidak merugi.
“Saya kalau ketemu pak bupati Kholiq sebenarnya akan omongkan soal ini. Biar pengelolaan parkir segera di tangani Kodim dan tim Pemkab. Tapi walaupun rumah pak bupati sedesa dengan saya belum bisa bertemu,” tuturnya.
Fakta-fakta tersebut diatas menurut Dian tak perlu ditutup-tutupi lagi agar para juru parkir sebagai pahlawan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Wonosobo tidak selalu jadi korban pengelola parkir.
“Namanya orang kecil ya seperti ini mau bagaimana lagi. Tapi ini harus ditertibkan, kenapa semua pihak seperti diam saja membiarkannya” katanya dengan nada tanya. [R/Yudi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar