Menunggu Nasib 17 TKI Wonosobo di Jepang

- Sempat Saling Kontak, Keluarga Khawatir Terimbas Nuklir   

Gempa dan tsunami yang mengguncang Jepang pada Jumat (11/2/2011) lalu menyisakan duka mendalam. Di Kabupaten Wonosobo ada sekitar 17 keluarga merasa was-was. Sebab anak-anak mereka bekerja disana. Mereka selalu mengikuti perkembangan berita. Terakhir kali  ledakan nuklir disertai bertambahnya ribuan korban membuat fikiran mereka jadi gelisah.

Wonosobo - Ketika pertama kali terjadi gempa Linda Yunita langsung menghubungi keluarganya di Desa Wonoroto Kecamatan Watumalang. Menurut pengakuan adiknya Prasekti kemarin peserta kerja magang di Jepang tersebut tidak menjadi korban bencana alam. Sebab lokasi tempatnya bekerja Linda jaraknya relatif jauh. Yakni sekitar 50 kilometer dari pusat gempa.

“Kabar kakak baik, barusan dia telefon tempat ia bekerja jauh dari pusat gempa dan tsunami,” katanya saat dihubungi koran ini via telepon.

Lain lagi pengakuan keluarga Apri Budianto (24). Kata sepupunya Fatoni lulusan salah satu SKM di Wonosobo yang kerja magang sejak tahun 2010 lalu itu kini dalam keadaan baik. “Ia menghubungi saya melalui facebook kemarin (13/3). Dia bilang tidak ikut jadi korban gempa bumi, tsunami dan ledakan nuklir. Karena lokasi kerja di pabrik plastik tempat Apri bekerja sejauh 50 kilometer,” akunya didampingi Kades Rahmad dan Kaur Kesra Desa Ahmad Hayun Sumberdalem Kertek.

Apri memang telah 7 bulan ini kerja magang. Selama itu pula pahlawan devisa negara Indonesia itu belum ada tambahan gaji lembur karena ketentuan kerja lembur didapat setelah peserta magang bekerja satu tahun. Namun sebulan sekali melalui western union Apri mengirim uang ke keluarganya senilai lebih dari Rp 10 juta.

“Katanya sih lokasi dia sama Toni yang juga warga sini itu jauh. Kalau Apri daerah pegunungan sedangkan Toni daerah pesisir pantai Jepang,” katanya sembari menambahkan bahwa kedua pemuda asal desa setempat tersebut berangkat ke Jepang jeda waktunya 2 tahun setengah.

Di RT 3 RW 2 dusun yang sama Tamrin menerima kabar dari anaknya Anan Fatoni (24) pada Sabtu (12/3) malam. Anak pertama dari empat bersaudara tukang pande besi tersebut mengabarkan bahwa lokasi kerjanya di perakitan mesin Honda di Jepang berjarak 100 kilometer dari lokasi ledakan nuklir.

“Tapi kalau melihat kabar-kabar di TV sih was-was mengingat akibat radiasi nuklir yang dibawa angin itu bisa membahayakan keselamatan anak saya,” ujarnya bernada cemas.

Menurut Tamrin anaknya memiliki kisah hidup cukup baik. Sebab seusai lulus dari SMK Wonosobo mengambil kuliah di Universitas Terbuka (UT) Wonosobo. Karena fasilitas kuliahnya kurang layak Toni memutuskan diri untuk ikut kerja magang ke Jepang melalui Balai Latihan Kerja (BLK) Wonosobo.

“Dulu kami bayar Rp 15 juta untuk kerja ke Jepang. Itu untuk mengikuti pelatihan 3 bulan di Semarang dan 2 bulan di Jakarta oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jateng,” imbuhnya.

Setelah itu, lanjut dia, anaknya bekerja ke Jepang. Tiga tahun berlalu dilewati dengan suka dan duka termasuk menahan rasa rindu yang cukup berat terhadap anak lelakinya yang menjadi kebanggaan keluarga tersebut.

”Rencananya 3 April sudah kembali pulang ke rumah. Tapi waktu dua Minggu ini kalau dirasakan seperti satu bulan. Kami sangat khawatir kalau terjadi apa-apa sama anak kami dengan adanya tsunami dan ledakan nuklir di Jepang,” tuturnya.

Ke depan Tamrin tak mau lagi meminta anaknya kembali kerja di Jepang. Andaikan saja sudah sampai rumah ia mengaku lebih mengutamakan keselamatan anaknya ketimbang harus merelakan nyawa demi mencari harta benda.

“Nggak mungkin lagi anak kami harus kembali ke Jepang sebab menurut rencana sudah mau nikah sama warga desa sini. Jadi rencananya hidupnya di desa ini,” akunya kemarin.

Diakui Tamrin rata-rata sebulan anaknya mengirim amunisi untuk operasional menghidupi ayah, ibu dan ketiga adiknya.Tamrin menyatakan tak pernah meminta jumlah nominal terhadap anaknya yang cukup berhasil mengumpulkan rupiah di negeri sakura tersebut.

“Ya minimal Rp 10 juta sebulan. Tapi uang itu dikumpulkan ibunya tidak semuanya untuk makan. Terutama untuk menambah modal usaha pembuatan alat-alat pertanian,” ujarnya. [R/Yudi]