Pengunjung

Rabu, 16 Maret 2011

Sudah Jatuh Tertimpa Tangga


“Nyai Batavia”



Judul Buku       : Nyai Batavia
Penulis             : Hayu Adi Darmarastri
Halaman           : viii + 120
Penerbit            : Grafindo Litera Media Yogyakarta
Cetakan           : Februari 2007 
------------------------------------------- 


Hidup dalam bayang – bayang (cengkraman) rezim kolonial (penjajah), selalu saja tidak menyenangkan. Betapa pun alasannya. Manusia yang berada di bawah kekuasaan rezim kolonial tersebut, ibaratnya telah mati meski nyawa masih dikandung badan. Karena ia bisa diperlakukan dengan semaunya oleh penguasa kolonial tersebut.
Dan Indonesia, telah lama mengalami masa – masa, dimana setiap ruang gerak dibatasi. Hak – haknya dipinggirkan. Hidupnya pun diatur dengan Undang – undang, yang sangat tidak manusiawi.
Rakyat Indonesia telah (menjadi) miskin di negeri yang kaya. Kelaparan merajalela ditengah panen yang melimpah. Serta busung lapar yang melanda ditengah sumber daya alam yang melimpah.
Semua itu, dikarenakan semua harta dan hasil bumi yang ada, harus disetor kepada para penjajah lewat pajak maupun upeti. Ya, selama lebih dari 3 abad, hasil kekayaan alam dirampas. Rakyat pun menderita karenanya.
Berbagai penderitaan yang dialami rakyat Indonesia, tidak cukup sampai disitu. Karena para lelaki diharuskan kerja rodi (kerja paksa) dengan bekerja diladang maupun membuat rel – rel kereta api demi kepentingan pemerintahan kolonial.
VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Sistem eksploitasi dan monopoli perdagangan Belanda inilah, yang akhirnya mendorong terjadinya kolonisasi dan penjajahan atas bumi pertiwi, karena Kerajaan Belanda menginginkan kekayaan alam Indonesia, yang merupakan penghasil rempah terbesar di dunia.

Pergundikan ‘ala Nyai
Yang tak kalah memilukan dan menyayat perasaan bangsa Indonesia, adalah banyaknya perempuan kita yang dijadikan sebagai gundik oleh para penguasa kolonial Belanda.
VOC sendiri, lewat Dewan Komisarisnya, menjalankan dan mensahkan pergundikan dan kawin campur dengan perempuan di tanah jajahannya sejak tahun 1635. (h. 58). 
Kebijakan ini diambil, dengan pertimbangan bahwa harga yang ditanggung lebih murah, dan lebih ringan tanggungjawabnya.
Namun, enak di Penjajah dan sakit di hati rakyat kita. Karena para perempuan yang dijadikan Gundik, yang biasa dipanggil “Nyai”, itu tak lebih sebagai pelampiasan hasrat dan budak seks para Tuan Belanda dan Eropa yang berperan sebagai majikan. (h. 102).
Ibarat pepatah “habis manis sepah dibuang”, begitu pula nasib yang dialami para Nyai. Setelah dihisap madunya, maka ia akan dibuang sewaktu – waktu para Tuan Belanda dan Tuan Eropa “yang terhormat” jika sudah bosan.  
Para Nyai itu, akan dengan mudahnya dicampakkan oleh “Tuannya” ketika Tuannya yang terhormat, menemukan perempuan lain yang lebih cantik. Meskipun secara ekonomi mereka tercukupi, namun perasaan was-was akan selalu menghantui, karena sewaktu – waktu, ia bisa dicampakkan dan dibuang seenaknya.
Meskipun pada akhirnya banyak pihak yang mengecam dan menentang sistem pergundikan itu, termasuk pihak Gereja, namun itu bukan karena perlakuan buruk dan tidak manusiawi yang dialami oleh para Nyai.
Kecaman dan penentangan terhadap praktik pergundikan tersebut, lebih didasarkan pada kecemasan akan turunnya martabat para tuan Eropa sebagai masyarakat Barat, yang merasa bangga dengan budayanya yang (dianggap) luhur.
Selain itu, juga kecaman terhadap pergundikan tersebut, karena para tuan Eropa dan Belanda, itu tidak menginginkan lahirnya keturunan – keturunan campuran (Indo) hasil dari pergundikan, yang dianggap dapat mengancam keberadaan orang – orang Eropa totok. (115).
Pada akhirnya, reaksi keras dan kecaman terhadappergundikan, itu juga menyudutkan oleh para Nyai, termasuk dari masyarakat Pribumi sendiri. Dimana Nyai dianggap gelap mata dan mau menjadi Gundik hanya untuk mengejar kesenangan sendiri.
Posisi para Nyai pun menjadi serba salah. Bagai sudah jatuh ketimpa tangga. Oleh para tuan Eropa – Belanda ia di sia – sia. Sementara oleh masyarakat Pribumi, ia dicibir karena dianggap mencari status sosial dan uang semata.[R]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar