Pengunjung

Kamis, 10 Maret 2011

Bukan NU Miring, Tapi NU Kritis

    Ketua PW GP Ansor Jateng Jabir Al Faruqi kurang sepakat dengan anggapan NU sebagai 'organisasi miring' yang dilontarkan oleh Soffa Ihsan, salah satu penulis buku "Dari Kiai Kampung ke NU Miring" yang dirilis oleh Ar Ruzz Media, belum lama ini.
    Hal tersebut dikemukakannya dalam bedah buku tersebut yang digelar oleh IPNU-IPPNU Cabang Blora bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Khozinatu Ulum, di kampus setempat, belum lama ini.
    Sebelumnya, Soffa Ihsan mengemukakan, bahwa sejak kelahirannya, NU memang sudah miring. "Dari style, gaya, NU itu tidak tertib. Kantor saja, ruang selalu tidak tertib dan tidak teratur," katanya.
    Ia menambahkan, beberapa tradisi yang dijalankan NU selama ini, juga banyak yang oleh kebanyakan orang di luar NU sebagai tradisi miring.
    "Tradisi tahlilan yang saat ini sudah jadi ritus nasional, juga dianggap sebagian orang di luar NU sebagai tradisi miring. NU sejak awal memang sudah miring," kelakar Soffa, alumnus fakultas filsafat UGM, Yogyakarta, yang melanjutkan pendidikannya di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pascasarjana Hukum Universitas Nasional, Jakarta.

NU Kritis
    Namun bagi Jabir Al Faruqi, kemiringan sebagaimana dikatakan Soffa dan banyak dikemukakan di buku yang diterbitkan Ar Ruuz Media, Yogyakarta, adalah potret dari generasi yang kritis. "Yang saya lihat bukan NU yang miring, tetapi NU kritis yang mengkritisi NU," ungkapnya.
    Kendati begitu, Jabir mengakui, sejak awal lahir, NU nyeleneh. "Kenyelenehan ini seakan sudah menjadi brand dari NU. Tidak hanya pada zaman dulu, tetapi hingga saat sekarang."
    Tetapi Jabir juga melihat, dengan brand yang dimiliki, NU juga mempunyai tradisi yang sangat unik, yaitu membicarakan hal-hal yang besar seolah-olah sebagai persoalan kecil dan simpel.
    Dulu, Jabir menceritakan, sewaktu orang-orang risau dan ramai membicarakan Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom), Idham Kholid, salah satu tokoh NU pun menanggapinya dengan sederhana, seolah itu menjadi hal kecil. "Nasakom itu di dalam Al-Quran sudah ada," kata Idham Kholid.
    Dan saat orang-orang bertanya tentang pendapatnya itu, ia pun mengemukakan, bahwa di dalam Al-Quran itu dijelaskan tentang orang-orang yang beragama, juga orang-orang ateis. "Ini yang saya lihat. NU itu selalu memecahkan masalah yang besar sekalipun dengan sangat ringan dan sederhana. Ini bisa kita lihat, khususnya dalam diri Gus Dur," tegas Jabir.
    Buku "Dari Kiai Kampung ke NU Miring" ini ditulis oleh para 14 penulis yang besar dari background NU dan menekuni dunia tulis menulis maupun sastra-budaya. Mereka adalah Acep Zamzam Noor, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Anggi Ahmad Haryono, Binhad Nurrohmat, Eyik Mustain Romli, Mashuri, A Arief Hidayat, M Faizi, Mujtaba Hamdi, Riadi Ngasiran, Sahlul Fuad Saprillah, Soffa Ihsan dan Syaiful Arif. [R]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar