Pengunjung

Kamis, 10 Maret 2011

Perempuan dan Anak dari Nikah Sirri Perlu Perlindungan

Kudus-Pernikahan sah secara agama Islam jika telah memenuhi rukun dan syarat, meski tidak dicatatkan kepada negara. Karena pencatatan hukumnya sunnah. Sehingga pelaku nikah sirri tidak bisa dipidanakan atau dipenjarakan. Justru akan menimbulkan dampak negatif, karena istri ditinggalkan dan tidak diberikan nafkah.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua MUI Kabupaten Kudus, KH Syafiq Naschan, dalam seminar gender bertema "Studi Kritis Wacana Pidana Nikah Sirri" yang diadakan oleh Pusat Studi Gender Universitas Muria Kudus, di gedung seminar lantai 4 UMK.
Hukum mencatatkan nikah sirri sama halnya dengan hukum mencatatkan hutang-piutang. Maka pelaku tidak bisa diberikan saksi, maksimal terkena ta'zir atau denda. "Negara tidak bisa memenjarakan pelaku nikah sirri, karena akan membuat masa depan istri suram," katanya.
Perlu Perlindungan
Meski sah secara agama, menurut Direktur Legal Resources Center Untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRJKJ-HAM) Semarang, Evarisan, menemukan fakta di lapangan bahwa secara sosial nikah sirri cacat. "Fakta di lapangan ditemukan bahwa istri dari pernikahan sirri mengalami gangguang psikis dan kekerasan fisik yang dilakukan oleh suaminya. Mental anak-anaknya juga “down”, karena mendapat perlakuan negatif saat bersekolah," jelas Eva. Diskriminasi yang dialami dari sejumlah perempuan yang melakukan nikah sirri di antranya adalah pembiayaan mandiri ketika persalinan dan perawatan anak yang dihasilkan. Dan di dalam akte tidak ada nama bapaknya. "Sayangnya tidak dikategorian sebagai tindakan kejahatan seseorang yang tidak mencatatkan pernikahan di negara, sehingga saat terajdi kasus kemudian dilaporkan kepolisian, tidak bisa ditindaklanjuti, karena tidak ada bukti," katanya.
Ia merekomendasikan solusi adanya perundang-undangan yang melindungi perempuan dan anak korban perkawinan sah secara agama. Sehingga peran negara sangat dibutuhkan untuk melindungi perempuan dan akan dari nikah sirri.
Menurut Ketua Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum UMK, Subarkah, sampai sejauh ini belum ada hukum positif yang mengatur tentang perlindungan hukum perempuan dan anak dalam perkawinan sirri. Sehingga pembenaran pemidanaan yang dilakukan terhadap tindakan kekerasan perempuan dan anak dalam kasus nikah sirri diambilkan ketentuan dari Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maupun Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).[R/Zaka/UMK]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar