Pengunjung

Kamis, 10 Maret 2011

Mengenang (Kembali) "Kemesraan" RI-Rusia

Belum lama ini, tepatnya awal pekan bulan Februari, beberapa mahasiswa asal Rusia mengikuti indonesia international work camp (IIWC) di Blora. Mereka adalah Tyukavina Alexandra, Andrew Kudinov, Anna Tipikana, dan Yulia Druzhkova.
Di Blora, empat mahasiswa Rusia tersebut satu camp dengan lima mahasiswa Indonesia. Yaitu Abdus Syakur (UPS Tegal), Risa Afni Masrida (Universitas Brwijaya Surabaya), Lalili Fitriyah (IAIN Walisongo Semarang), Defhita Zully Andiny (Undip Diponegoro Semarang), dan Muhammad Hakim Haikal (Institut Pertanian Bogor).
Barangkali sebuah kebetulan, empat mahasiswa itu akan intens melakukan kegiatan bersama dengan mahasiswa Indonesia di Bumi Arya Penangsang. Namun tanpa sadar, itu mengingatkan akan sejarah diplomasi yang dibangun oleh Pemerintah RI dan Rusia sejak lama, saat Indonesia baru berdiri beberapa tahun menjadi sebuah negara.
Berlian Napitupulu, dalam sekapur sirih-nya di buku "Sahabat Lama Era Baru" yang ditulis Tomi Lebang (2010) mengemukakan, hubungan diplomatik antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Federasi Rusia, secara resmi dimulai pada 3 Februari 1950.
Tetapi jauh sebelum itu, Rusia sebenarnya sudah mengenal "Indonesia". Yaitu pada paruh kedua abad ke-19, di mana beberapa tokoh negara itu pernah mengunjungi dataran yang kemudian merupakan bagian dari Indonesia setelah merdeka.
Mikhlukho-Maclay mengunjungi Batavia dan Ternate di tahun 1873, Putra Mahkota Nikolai Aleksanderovic yang mengunjungi Batavia (23 Februari - 1 Maret 1890), serta kedatangan Modest M Bakunin, konsul pertama Rusia di Batavia (1894-1899) yang menulis buku "Belanda Tropis". Buku karya Modest M Bakunin itu pula yang menjadi cikal bakal studi Indonesia di Rusia.
Berlanjut pada masa Alexander Huber, alumnus Moscow College of Oriental Study yang kemudian meneliti secara sistematis tentang Indonesia, juga Filipina dan Vietnam. Huber menerbitkan buku "Indonesia, Sketsa Sosial Ekonomi" pada 1932. Huber adalah salah satu ilmuwan yang pertama kali menulis "Indonesia" secara tegas di luar sebutan yang lazim digunakan waktu itu; Hindia Belanda, Hindia Timur, atau Holand Tropikan.
Dari Indonesia, beberapa nama tokoh yang pernah mengunjungi Indonesia di awal negeri bekas jajahan Belanda berdiri, yaitu Soekarno, Tan Malaka, Munawar Musso, dan Semaun. Bahkan Munawar Musso dan Semaun lah peletak dasar Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Negara-negara Asia Afrika Universitas Negara Moskwa.
Buah hubungan antara RI-Rusia di Jakarta antara lain ditandai dengan berdirinya Gelora Bung Karno, Rumah Sakit Persahabatan, dan Patung Tani. Lalu, ada juga Krakatau Steel di Cilegon.
Dan tak banyak yang tahu pula, jika Tugu Monumen Nasional (Monas) yang jadi landmark Ibukota Jakarta, ternyata juga menyimpan kenangan 'kemesraan' RI-Rusia pada 1955, di mana Rusia memberikan bantuan  untuk membangun Monas, meski awalnya mengkritik keinginan Soekarno mendirikan monumen (Monas) yang kini menjadi salah satu penanda kebesaran bangsa Indonesia. 

Beri Dukungan
Soesilo Toer, Doktor lulusan Rusia yang juga adik Pramoedya Ananta Toer menyebutkan, Rusia adalah salah satu negara penting yang mendukung kemerdekaan Indonesia. "Rusia lah negara yang pertama kali mendukung kemerdekaan RI sejak lama," katanya.
Pernyataan Pak Soes -sapaan akrab pengelola Perpustakaan PATABA- ini memang tidak berlebihan. Sebagaimana dinarasikan secara apik oleh Tomi Lebang dalam bukunya "Sahabat Lama Era Baru" itu, tahun 1945-1947, di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Andrew Gromyko memelopori gerakan yang mengecam rencana Belanda melestarikan penjajahan di Indonesia.
Selain itu, pers Rusia  secara periodik mereproduksi surat kabar Indonesia dengan melukiskan seorang pejuang kemerdekaan dengan slogan "Darahku merah, tak sudi dijajah". Dan yang tak bisa diabaikan, adalah pada 1948, Uni Soviet secara de-facto mengakui kemerdekaan Indonesia yang secara de-jure mengusulkan pembukaan diplomatik Indonesia-Uni Soviet pada 3 Februari 1950.
Peristiwa awal merajut hubungan RI-Indonesia itu memang sudah lama sekali terjadi, yaitu sekitar 61 tahun. Namun kehadiran para mahasiswa Rusia di Blora (Indonesia) dalam rangkaian work camp, itu mengingatkan hubungan diplomatik yang sangat mesra dan bersejarah antara RI-Rusia.
Andrew Kudinov, salah satu peserta IIWC di Blora pun mengaku senang bisa berinteraksi dan belajar tradisi masyarakat di Kota Satai ini. "Saya senang dengan Blora. Saya bisa makan satai Blora. Waktu berkunjung ke SMP 2 Blora, kami juga disambut dengan tarian-tarian Jawa dan gamelan," katanya kepada Suara Merdeka, belum lama ini.
Anna Tipikana, juga mengutarakan hal senada. "Interaksi dengan masyarakat Blora sangat menyenangkan. Proyek kami untuk mensosialisasikan mengurangi dan memiliah sampah, berjalan dengan sukses," ujarnya.
Muhammad Hakim Haikal, peserta work camp dari Institut Pertanian Bogor menyebutkan, proyek besar yang dilakukan timnya dalam IIWC di Blora yaitu memberikan keteladanan kepada masyarakat, bagaimana mendaur ulang sampah dan menanam pohon. "Kami juga mengajari anak-anak untuk menjaga kebersihan," katanya.
Ya, keakraban yang dibangun mahasiswa Indonesia dan Rusia dalam agenda IIWC di Blora itu memang tidak lama. Tetapi paling tidak, kehadiran mereka mengingatkan akan sejarah manis hubungan RI-Rusia yang sudah seharusnya tetap dikenang (dan dilanjutkan!). Bukankah bangsa yang baik adalah bangsa yang selalu ingat akan sejarahnya? [Rosidi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar